Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2017

“adik sendiri…! “

Tadi pagi aisyah seperti biasa minta minum susu setelah mandi pagi. “cucu agi.. Cucu agi… (sambil ibunya membuatkan susu).. Cucu agi.. “ mintanya tidak sabar Ibarat mengisi bensin, setelah minum susu aisyah mulai beraksi lagi kesana kemari mencari sesuatu yang bisa dia pakai untuk mainan. Baju2 jemuran yang belum di setrika diambilnya dan dilipat2 sekenanya. Giliran melihat bu dhe nya mau nyapu rumah, dia memaksa untuk mengambil sapunya. “adik ndiri...adik ndiri..adik ndiri… “ pintanya ingin menyapu sendiri Akhirnya bu dhe mengambil sapu yang lain. Giliran bu dhe ngepel, aisyah g mau kalah untuk mengambil nya. Sambil berteriak “adik ndiri.. “ aisyah lari dan terjatuh karena terpleset tumpahan air. Menangislah aisyah sambil teriak “ibu.. Ibu.. “ Tidak lama kemudian, tangisnya reda dan tergoda untuk melanjutkan mengambil alat pel yang sedang di pegang bu dhe nya untuk ngepel. Sontak aku teriak, “aisyah, hati2 licin, nanti jatuh lagi dan sakit semua badannya, nangis lag

Udah. Udah. Udah

Belum genap 2 tahun anakku aisyah, tapi sudah mulai jelas berbicara. Kosakata yang mampu dia ucapkan saat ini masih berkisar 3-4 kosakata. “ambil-bola-adik! “ “ayah-pergi-kerja” “sini-ibu-duduk! “ Dan masih banyak lainnya Komunikasi dengan anak seumuran itu memang penuh canda tawa, untungnya selama ini kami mengerti saja apa yang anakku inginkan dan apa yang anakku bicarakan, artinya ngomongnya sudah jelas. Anakku pun sudah bisa menjawab setiap apa yang dilontarkan kepadanya, setiap diajak berbicara anakku merespon dengan baik meskipun terkadang perhatiannya masih lebih besar ke hal yang menarik/ mainan daripada sekedar omongan. Penolakan pun seringkali anakku tunjukkan jika ia memang sedang tidak berminat terhadap suatu hal. “ini dihabiskan dulu dik makannya” pintaku sambil menyodorkan makanan yang sudah disiapkan “udah. Udah. Udah. Ak mau.. “ tolak nya sambil menggelengkan kepala “hayuk pakek celana nya dulu” kataku sambil mengejarnya “udah. Udah. Udah”

LDR vs ISTRI/ IBU SHOLIHAH

Berulangkali bahasan kami (saya dan suami) seputar LDR. Mungkin karena kami jarang LDR kali ya dan saat ini kami sedang menjalani LDR walau cuma 3 minggu (tapi WOW bgt). Obrolan kami bermula dari kawan yang menikmati LDR sepanjang pernikahannya. Kunci sukses dari LDR itu menurut pasangan tersebut adalah komunikasi dan kepercayaan. Jika tidak ada keduanya, maka LDR akan terasa menyakitkan. Pembahasan LDR ini sangat penting, karena bagaimanapun, setiap keluarga pasti akan mengalaminya, yaaa meski cuma 3 hari. Namun tetap saja harus dijalani dengan tepat yaitu sesuai tuntunan syara’. Kami tidak sedang membicarakan suami istri yang berpisah karena himpitan ekonomi sehingga mengharuskan keduanya untuk kerja dan berpisah. Tapi kami membicarakan suami istri yang seringkali berpisah karena mengejar eksistensi. Suami bekerja dan istri tidak mau kalah untuk menghasilkan uang alias mengejar karir. Sejatinya sebagai perempuan, ada kedudukan sendiri untuk menjadi mulia. Perempuan sholihah

… (kosong)

Obrolan terhenti kemudian sekian detik berikutnya hanya ada desahan nafas panjang, tak berlanjut. Mungkin bisa dianggap obrolan yang tiada guna saat ini tapi terus menggelitikku untuk memikirkan dan membahasnya. Yaitu tentang pertanyaanku mengenai LDR. “Bagaimana kalau nanti kita yang LDR? tanyaku “yaaa.. Apa kata nanti lah. Gak ada gunanya kita bahas sekarang, kalau nanti diperlukan baru kita bahas” jawab suami “hmmm.. Menurutku perlu juga kita bahas agar kita ada maklumat tsabiqoh/ informasi awal yang membantu kita memutuskan, apakah kelak kita juga akan mengambil jalan LDR atau tidak” jawabku LDR. ya, banyak di kalangan pasangan suami istri yang menjalani kehidupan rumah tangga nya dengan berjauhan. Misalnya ada fakta seorang suami yang hanya ada dirumah selama 4 hari sebulan, sisanya berada jauh ditempat kerja. Nah, jika kita tanyakan pendapat pasangan suami istri terkait fenomena tsb bisa saja beragam. Yang perlu digarisbawahi adalah LDR itu mubah, tapi bukan berar

Perjalanan dinas

Selama menjalani pekerjaan dinasnya, suami akhirnya menanyakan pertanyaan yang sudah aku fikirkan sebelum suami berangkat. “perjalanan dinas ini pasti menghabiskan banyak biaya bagi perusahaan, setiap bulan menugaskan beberapa staf dalam satu departemen untuk tugas tertentu. Belum tiket pesawat, hotel, makan, dan akomodasi lainnya pulang dan pergi. Sebegitunya ya? “ tanya suami “itu juga yang kupikirkan jauh hari. Cuma aku pikir lagi emang setiap pengorbanan yang besar menuntut hasil yang besar dan memiliki resiko besar. Perusahaan berkorban banyak biaya utk menjadikan perusahaannya semakin maju dan resiko untuk staf pun besar. Dia ditugaskan kesana kemari dengan meninggalkan keluarga dan keselamatan juga dipertaruhkan. Jadi jangan enak2an menganggap ini jalan2, tapi harusnya menjadi ajang mendekatkan diri kepada illahi” jelasku “iya betul itu yank, makasih ya sudah diingatkankan” balasnya . Kematian. Sekelumit dialog yang membuat kami berfikir ulang tentang tujuan pencipt

Cerita persalinan vs suami kerja

Kemarin, ada undangan  dari teman untuk menghadiri syukuran atas kelahiran putra pertamanya. Saat acara si ibu bercerita kenapa harus di cesar, ternyata Karena sudah lewat hpl dan si ibu belum merasakan kontraksi. Sudah dua kali si ibu di suntik perangsang, namun belum juga mau keluar bayinya. Akhirnya jalan terakhir adalah cesar. Saat cerita ini suami sedang berada di ujung kalsel, sangat jarang kami berpisah kecuali memang ada urusan kerjaan  yang tidak bisa dielakkan. Yaaa, ldr memang tidak nyaman serasa ada bagian yang hilang. Terkadang kami berfikir, apakah kami saja yang merasa begini ketika berpisah?! Atau pasangan suami istri lainnya juga merasakan hal yg sama?!. Suami selalu menghibur jika kami sudah mulai kangen.. “kita masih mending, coba kita lihat kawan ni, dia dinas setiap bulan 2 minggu ninggalin istrinya, dan sekarang istrinya sedang menanti kelahiran bayinya. Bisa jadi istrinya lahiran tanpa suami disampingnya” terangnya “jadi apa yang dia (sang suami) rasaka

“berminat naik tingkat g? “

Semalam, suami sedang dalam perjalanan menuju banjarmasin. Untungnya masih bisa mengobrol meskipun dalam kondisi capek. Tak sengaja obrolan kita membahas tentang perjalanan hidup manusia. “supir yang itu tuh (tdk disebutkan namanya) dulu semasa jadi karyawan, kawannya pak X lho.. “ suamiku memulai “ooohhh.. Pak X yang manajer kebun sebelah ya? “ tanyaku “iya.. Itulah rizki ya, nasib orang sudah ditetapkan oleh Allah. Mungkin saja pak supir itu juga berjuang keras tapi ya namanya rizki, Allah lah penentunya” terang suami “iya ya.. Jadi, kira2 dalam lubuk hati yang paling dalam, sayang juga ingin berjuang keras untuk naik jabatan? “ tanyaku “hmmm… terkadang hidup itu kayak ‘balon oek’, tahu g? Balon yang ada 2 di kanan kiri, kalau kita pencet satunya, maka yang satu mengempis sambil mengeluarkan bunyi ‘oek’. Jika jabatan meninggi, semakin besar risikonya, harus rela sering2 ninggalin keluarga, waktunya harus lebih untuk kerjaan, fikiranpun juga lebih terbebani. Nah karena

Kurang apa kita?

“tidak dikatakan beriman seseorang sebelum mereka diuji… “ Kurang lebih hadis yang pernah saya dengar intinya seperti itu. Suatu pagi, tak sengaja aku melontarkan pernyataan yang merupakan salah satu jawaban dari program tipi MAMAH DAN AA’ BERAKSI. pernyataan itu memiliki maksud bahwa istri silahkan mencari tambahan kerja agar tidak berpangku tangan kepada suami. “jadi aku enaknya kerja apa ya?” uji ku Suami seperti biasa hanya diam, menunjukkan bahwa aku pasti tahu jawabannya. Akupun tidak berani melanjutkan. Hingga pagi tadi suami kembali memberi wejangan, “yang belum nikah ngebet pengen nikah. Yang belum punya anak ngarep punya anak. Dan sayang (red: istri) sudah nikah dan punya anak malah pengen kerja padahal suami sudah kerja” jelasnya Tak perlu panjang kali lebar lagi, aku hanya menunduk. Tiba tiba seperti dibuka tirai penutup mata dan aku sadar bahwa yang ku lakukan selama ini lebih kepada mengeluh dan menyerah pada ujian yang diberikan oleh Allah. Aku dike

Sekolah adik gimana nanti…???

“katanya, ada salah satu murid SMA yang ketahuan hamil lho.. “ aku memulai “iya, anak SMP pun sering keliatan mangkal sore2 sambil memakai seragam.. “timpal suami Berawal dari obrolan tentang kualitas pendidikan disuatu sekolah yang terbilang menyedihkan. Hal tersebut membuat kami memikirkan nasib sekolah anak kami kedepannya. “ada lho beritanya seorang ibu membesarkan dan mendidik anak nya sendiri dirumah dg sistem home education, dan sekarang sudah masuk ITB “ ceritaku “Jadi adik gmn nanti, ada rencana mau home education aja? “ tanya suami “Yaaa.. Pengen sih, apalagi kan qt sekarang ditengah kebun, dah cocok tuh alamnya” jawabku “yaudah, apa saja yang harus dipersiapkan dari sekarang, dan kerepotan g kalau nanti anaknya nambah lagi? “ tanya suami “ya repot mah udah resiko ya, cuma sebesar apa keyakinan qt untuk HE? jangan pula setengah hati, apalagi emaknya aja yang bejibaku” jawabku “nanti aku bantu lah pastinya, untuk mobile kemana dan perancangan kurikulum

Surat terbuka untuk suami vs Surat terbuka untuk istri.

Bermula dari dua judul buku itu, kami_saya dan suami memulai obrolan tadi malam. Ibarat refleksi pernikahan setelah mengarungi kehidupan rumah tangga selama dua tahun, momen tadi malam sangat berharga. Inti obrolan diantara kami diambil dari kegalauan saya sebagai seorang istri. Hidup bersama ditengah kebun sawit yang jauh dengan hiruk pikuk keramaian kota membuat saya akhirnya mengeluh. Hal ini dikarenakan, saya yang sebelum menikah sangat aktif dan produktif dikancah publik terlebih pendidikan S2 yang sudah saya tempuh, membuat saya merasa tidak produktif lagi saat ini. Suami saya dengan cara berfikirnya yang tenang dan logis selalu mengajak saya untuk berfikir makna dan tujuan hidup sebenarnya. Keinginan saya untuk menambah kesibukan diranah publik, akhirnya diluruskan kembali oleh suami saya bahwa yang harusnya saya fikirkan adalah mendalami peran saya sebagai ibu dan istri. Keinginan saya untuk menambah ilmu dan mengasah ilmu, akhirnya suami saya menawarkan solusi untuk