ulama menjadi stempel kekuasaan?
[ Ulama Menjadi Stempel Kekuasaan?]
Oleh: Ainun Istiharoh
#Opini
#MuslimahSriwijaya - Perhelatan akbar lima tahunan makin dekat. Euforia pemilihan presiden dan wakilnya, serta anggota legislatif akan segera digelar. Semua pihak tampak riuh menyukseskan Pemilu 2024. Pihak pemenangan masing-masing calon menyediakan tim yang menurut mereka mampu menaikkan elektabilitas calonnya, terutama pada masa kampanye sejak tanggal 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024. Panitia penyelenggara pemilu pun, dalam hal ini Bawaslu mengantisipasi berbagai halangan yang mungkin terjadi dan mengancam proses Pemilu 2024.
Salah satu upaya Bawaslu adalah menggaet Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengamankan Pemilu 2024. Seperti yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan bersama Kesra melalui Rakerda pada 1 Desember 2024. Tujuannya adalah agar MUI dapat menjaga kodusifitas proses pemilu dan selalu memotivasi untuk menyukseskan pemilu 2024.
Dikutip dari sumsel.antaranews.com (03/12/23), MUI juga menyatakan, perannya dalam pemilu 2024 adalah dalam rangka meningkatkan partisipasi peran agama dan ulama dalam pembangunan nasional. Selanjutnya, agar dapat meningkatkan keharmonisan antarumat beragama. Oleh karena itu, MUI dalam penyusunannya juga harus berpedoman pada Alquran, UUD 45, dan Pancasila, serta nilai-nilai luhur bangsa.
Dalam hal ini, sebagai negeri mayoritas muslim, pemerintah Indonesia tampak menggaet lembaga keagamaan untuk menyukseskan Pemilu 2024. Hal ini bisa disebabkan beberapa hal. Pertama, menurunnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah sehingga butuh pendongkrak dari ulama untuk menaikkan bargaining position di mata rakyat. Kedua, penguasa tidak ingin problem pada pemilu sebelumnya terulang kembali, yaitu terjadi polarisasi yang kuat antarkubu pasangan calon, antara kubu yang dipandang islamis dan kubu pluralis.
Kedua sebab tersebut jika tidak diantisipasi akan menyebabkan masalah yang mengancam kondusifitas pemilu. Misalnya, seiring menurunnya tingkat kepercayaan publik, maka persentase golput juga meningkat, sehingga MUI diharapkan perlu mengeluarkan fatwa bahwa golongan putih (golput) hukumnya haram. Hal ini jelas dari hasil ijtima' ulama II tahun 2009 yang menyatakan bahwa memilih pemimpin dalam Islam hukumnya wajib untuk menegakkan imamah (kepemimpinan) dan imarah (pemerintahan) (tvonenewscom, 19/12/23).
Ketidakpercayaan terhadap pemerintah juga diklaim dapat memunculkan kelompok Islam radikal yang ingin menegakkan daulah Islam. Maka muncullah narasi terorisme menjelang pemilu. Adapun dampak polarisasi dapat menimbulkan anarkisme dari salah satu kubu ekstrem. Penyebaran hoaks, ujaran kebencian, bahkan tindakan yang merugikan pun dapat dilakukan.
Namun, jika ditilik, sejatinya pemilu di sistem demokrasi selalu berpotensi menimbulkan masalah, meskipun ada MUI sebagai pengamannya. Masalah tersebut bisa berasal dari pihak penyelenggara, peserta/calon, maupun pemilih.
Ini semua terjadi karena beberapa hal. Pertama, pemilu dalam demokrasi berasaskan pada sekularisme, yaitu diabaikannya agama dari pengurusan rakyat, termasuk pengurusan pemilu. Pemahaman bahwa kehidupan diatur oleh manusia meniscayakan kedaulatan membuat hukum berada di tangan rakyat. Mekanisme yang berlaku dalam meraih kekuasaan adalah dengan terlibat dalam pemilihan umum 5 tahunan. Setiap partai politik memilih kandidatnya untuk duduk di bangku kekuasaan dengan mengikuti proses panjang pemilu.
Kedua, kontestasi pemilu dalam sistem demokrasi membutuhkan dana yang tidak sedikit, sehingga meniscayakan adanya pihak pemodal untuk membiayai hal tersebut. Bahkan, cukong dan oligarki dari luar negeri juga siap mendulang kemenangan dengan adu kekuatan modal politik. Jargon dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sejatinya hanya melahirkan pemimpin produk elite global. Politik balas budi akan mewarnai kepemimpinan dan praktik korupsi akan tumbuh subur. Jelas hal itu akan memicu masalah, baik secara vertikal maupun horizontal.
Sayangnya, umat beragama terbesar di negeri ini masih lemah dalam memandang realitas kerusakan, yaitu akibat diterapkannya sistem demokrasi sekuler, sehingga masih percaya dan tetap menjadi bumper pemerintah. Perjuangan mereka disibukkan dengan pemilihan person baru untuk memimpin, tanpa melihat metode kepemimpinan yang sedang berlangsung, yaitu sistem yang berlaku.
Karena itu, perlu kiranya ulama yang dipercaya masyarakat muslim untuk mengubah haluan ke arah perjuangan meneggakkan sistem Islam, bukan sistem demokrasi sekuler. Ulama perlu mendalami tupoksi ormas yang sahih dalam memperjuangkan Islam. Hingga kemudian dapat terjawab bahwa Islam dapat tegak tanpa harus masuk ke dalam sistem kufur.
Pandangan Islam terhadap Dakwah Politik
Satu yang perlu diperhatikan oleh ormas Islam, bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Islam juga mengatur tata cara berpolitik, sehingga ketika mempraktikkan politik harus demi kepentingan Islam dan umat Islam. Metode yang dilakukan pun harus sesuai dengan tuntunan assunnah, yaitu metode Rasulullah mengubah tatanan sistem jahiliah menjadi sistem kehidupan yang sahih.
Berdasarkan sejarah, tidak pernah Rasulullah saw. menunjukkan kompromi dan menggunakan sistem kufur untuk meraih kemenangan Islam. Jika hari ini kaum muslim yang berjuang dalam sistem demokrasi menggunakan banyak dalil, sebenarnya tidak dapat dibenarkan secara historis, fakta, dan dalil yang sahih. Mereka hanya mencari pembenaran kemudian menerapkan berbagai syarat dan aktivitas yang bertentangan dengan Islam.
Pemilu sendiri dalam Islam hukumnya mubah sebagai uslub untuk memilih pemimpin, asalkan tegak di atas akidah Islam. Namun, bedanya dalam Islam, pemilu akan berjalan tertib dan jauh dari kecurangan karena kedaulatan di tangan syarak.
Dalam Islam, penguasa yang dipilih adalah yang mau melaksanakan aturan Allah. Metode baku dalam memilih pemimpin yaitu dengan baiat syar'i, yang dibatasi selama tiga hari sehingga prosesnya sederhana. Periode kepemimpinan tidak dibatasi, hanya jika melanggar syariat atau mengalami keterbatasan dalam menjalankan syariat.
Islam akan tegak jika ada kekuasaan, namun kekuasaan di sini bukanlah oleh elite politik dalam sistem demokrasi, melainkan kekuasaan yang berada di tangan umat (rakyat). Maka Langkah pertama adalah dengan jalan meraih kepercayaan umat. Kepercayaan umat didapat ketika pemahaman, standardisasi, dan tata nilai Islam menyatu pada rakyat. Perjuangan harus dilakukan secara kolektif (jama'i), bukan individual, sehingga perlu peran kelompok/ormas/parpol (QS. Ali-Imran 104).
Maka, tugas ormas/parpol adalah menyadarkan umat akan Islam dan melakukan dakwah tentang Islam. Penyadaran umat dengan Islam, yaitu dengan melakukan pembinaan/edukasi. Propaganda (dakwah) yang dimaksud adalah berinteraksi dengan umat, membongkar keburukan sistem kufur.
Selain itu, parpol harus mempersiapkan pemikiran dan metode menerapkan pemikiran secara gamblang dan detail. Kelompok Islam harus menggambarkan tentang sistem pemerintahan, peradilan, politik luar negeri, dalam negeri, ekonomi dan lainnya kepada umat. Kelompok Islam juga harus menjauhkan diri dari pemikiran asing dan segala bentuk bujuk rayu sistem yang menawarkan berbagai macam kesenangan.
Demikianlah seharusnya ormas dan parpol Islam memperjuangkan Islam, menerapkan Islam secara (QS. Al-Baqarah 208). Bukan dengan sistem demokrasi sekuler, tetapi menggunakan manhaj dakwah Rasul. Insya Allah akan diridai oleh Allah dan mendapat kemenangan sebagaimana yang telah dijanjikan dalam Qur’an surah an-Nur ayat 55. Kaum muslim pun akan dikokohkan kedudukannya (QS. Muhammad: 7) []
Komentar
Posting Komentar