Banjir Menerpa Ditengah Nestapa

[Banjir Menerpa di Tengah Nestapa]

Oleh: Ainun Istiharoh (Muslimah Musi Banyuasin) 

#Opini
#MuslimahSriwijaya-- Awal tahun 2024, Indonesia telah diprediksi mengalami cuaca ekstrem yang memungkinkan terjadinya bencana hidrometeorologi. Cuaca tersebut bertepatan dengan musim hujan yang puncaknya terjadi pada Desember-Februari 2024 (cnnindonesia.com, 10/01/24). 

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi beberapa wilayah di Indonesia akan mengalami banjir dan longsor sepanjang puncak musim hujan, sebagaimana yang terjadi di wilayah Sumatera bagian Selatan. 

Sejak awal tahun hingga 19 Januari 2024, telah ada 8 daerah di Sumsel yang terendam banjir, meliputi Musi Rawas Utara (Muratara), Musi Rawas, Musi Banyuasin, Muara Enim, Pali, Banyuasin, Ogan ilir, dan Prabumulih (detiksumbagsel, 19/01/2024).

Tingkat keparahan bencana banjir tertinggi terjadi di Muratara dengan kerugian mencapai milyaran rupiah. Kerugian dari sisi fasilitas sekolah saja mencapai 10 miliar, belum lagi kerugian infrastruktur lainnya (detiksumbagsel, 14/01/24).

Diketahui banjir menerjang 9 dari 15 kecamatan di Kabupaten Musi Banyuasin. Tinggi permukaan air berbeda-beda tergantung topografi wilayahnya. Sampai hari ini, tinggi muka air banjir masih mengalami kenaikan akibat debit air Sungai Musi yang meningkat. 

Warga sekitar mengaku bingung dan stres akibat bencana ini, karena pasokan makanan yang terbatas, ancaman penyakit flu, batuk, dan demam yang diderita anak-anak, serta terganggunya aktivitas harian warga akibat terisolirnya wilayah tempat tinggal oleh genangan air.

Lebih parah lagi, dampak banjir ini mengakibatkan habitat hewan air liar dan buas dapat berpindah ke lingkungan tempat tinggal manusia, seperti ular dan buaya (paparan langsung warga sekayu, Musi Banyuasin, 24/01/24).

Penyebab Banjir 

Banjir tak kunjung surut sejak awal Januari hingga sekarang. Wilayah terdampak banjir pun semakin luas. BMKG mengatakan puncak musim hujan berarti akan banyak wilayah yang mengalami intensitas hujan tinggi atau sama saja bahwa saat ini sedang puncak musim hujan yang terjadi di banyak wilayah. 

Jika ditelusuri ke belakang, musim hujan terjadi setiap tahun dan wilayah yang mengalami puncak musim hujan juga tidak berbeda dari tahun ke tahun. Tahun ini, wilayah yang rentan mengalami banjir dengan tingkat keparahan tinggi dibanding tahun sebelumnya. 

Bahkan, wilayah yang tidak rentan banjir tahun ini mengalami banjir. Dampak puncak musim hujan dari tahun ke tahun mengalami perubahan ke arah destruktif dan merugikan. Hal ini sangat tergantung pada kondisi lingkungan yang ada di wilayah Indonesia. 

Secara garis besar, curah hujan yang tinggi tentu diakibatkan fenomena alam yang secara teori dapat dijelaskan. Namun, kondisi lingkungan yang mengakibatkan tingginya tingkat keparahan banjir, perlu digali lebih dalam. Misalnya saja, banjir di Kecamatan Sekayu Kabupaten Musi Banyuasin tahun ini tergolong parah. 

Tinggi muka air sejak hari pertama banjir yaitu sejak tanggal 21 Januari 2024, terus mengalami kenaikan dan belum ada tanda-tanda surut. Pantauan warga, hal ini karena adanya air kiriman dari hulu yang lebih awal mengalami banjir. 

Sebelumnya, air hanya berasal dari sungai sekitar lokasi banjir seperti air Sungai Batang Hari Leko, Sungai Mura, dan Sungai lainnya, kini air tersebut berasal dari Sungai Induk yaitu Sungai Musi. Buktinya, meskipun wilayah ini sudah 3 hari tidak hujan, tinggi muka air tetap mengalami peningkatan. 

Bencana hidrometeorologi juga tidak terlepas dari kondisi iklim dunia saat ini. Peningkatan suhu global akibat meningkatnya emisi gas karbon dan pertambahan industrialisasi mengakibatkan tingginya aktivitas penambangan sebagai bahan baku industri.

Terlebih lagi deforestasi menambah tingkat keparahan bahaya bencana hidrometeorologi. Keparahan dampak banjir tahun ini jelas bukan sekadar akibat intensitas hujan yang tinggi, tetapi ada faktor ulah manusia yang mengakibatkan banjir berlangsung lama dan merugikan. 

Air kiriman yang menggenangi sejumlah wilayah di Sumsel bagian hilir terjadi karena ketidakmampuan wilayah hulu dalam menampung air saat puncak musim hujan. Selain itu, perlu dilihat kemampuan wilayah hilir dalam menghadapi ambang batas tampungan air. 

Ternyata, menurut liputan dari Fellowship Akademi Jurnalis dan Lingkungan, yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerjasama dengan Traction Energy Asia, banjir yang tidak biasa dialami oleh wilayah hilir sungai disebabkan karena banyaknya aktivitas pertambangan di area hulu sungai. Bahkan, terdapat 9 daerah di aliran sungai Musi telah mengalami kerusakan tanah akibat pembukaan lahan sawit skala besar. 

Pelaku penambangan dan pembukaan lahan serta deforestasi ini tidak lain adalah para pengusaha yang diberikan izin konsesi oleh pemerintah. Adanya investasi oleh perusahaan swasta dianggap mampu memberikan dampak pembangunan ekonomi bagi negara dan kesejahteraan masyarakat. 

Namun, jauh panggang dari api, Sumsel sebagai lumbung pangan dan energi masih tercekik dalam kemiskinan. Lebih dari 1.04 juta orang di Sumsel hidup dalam kemiskinan pada tahun 2022 dan bertambah 1000 orang di tahun 2023. Hal ini menunjukkan tidak adanya korelasi yang positif antara keberadaan perusahaan dan kesejahteraan masyarakat. 

Pandangan tersebut cenderung eksploitatif tanpa memikirkan aspek lingkungan dan aspek sosial. Sungguh tak bisa diharapkan pola pikir yang dibangun dengan paradigma kapitalis sekuler. Paradigma ini tak mampu memanusiakan manusia yang seharusnya mendapat jaminan kesejahteraan dan jaminan keamanan serta perlindungan terhadap lingkungan.

Paradigma Solusi dalam Islam

Islam memandang setiap aktivitas seorang muslim haruslah terikat dengan hukum syarak. Tak terkecuali dalam hal pengaturan ekonomi rakyat, harus berpegang pada syariat Islam. Perubahan iklim dan bencana hidrometeorologi diakibatkan aktivitas manusia, maka perlu untuk digali pandangan yang sahih mengenai hal ini. 

Pertama, pandangan Islam menjelaskan bahwa kondisi saat ini merupakan cerminan dari firman Allah,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (dampak) perbuatan mereka. Semoga mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Surat Ar-Rum/30: 41). 

Maka, manusia harus introspeksi hal apa yang telah mereka perbuat dan kembali pada jalan yang benar yaitu jalan yang telah Allah gariskan. 

Kedua, segala sesuatu termasuk alam telah Allah ciptakan sesuai kadarnya, sebagaimana firman Allah,

اِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنٰهُ بِقَدَرٍ

"Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu sesuai dengan ukuran." (QS. Al-Qamar, ayat 49). 

Manusia telah memperlakukan alam dengan sangat eksploitatif, sehingga melewati ambang batas daya dukung lingkungan. 

Ketiga, Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ  إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah ayat 208).

Pemanfaatan alam dalam Islam tentu dilakukan dengan serangkaian penelitian. Misalnya, Islam menggunakan sumber daya tambang atau energi fosil secara seimbang agar tidak terjadi perubahan iklim yang mempengaruhi alam dan kehidupan manusia. 

Islam melarang aktivitas yang dilakukan oleh swasta dalam mengeksploitasi alam. Islam berpandangan bahwa ekonomi masyarakat dapat sejahtera dengan berpegang pada prinsip kepemilikan. 

Islam memiliki mekanisme pengaturan pemasukan dan pengeluaran yang sesuai syariat melalui pengelolaan Baitulmal, sehingga akan dihindari terjadinya defisit dan ketergantungan pada negara lain. Islam juga menjamin pendistribusian harta kepada masyarakat luas. 

Secara teknis, Islam dalam institusi Khilafah akan membuat langkah pencegahan banjir. Misalnya pembangunan bendungan untuk menampung air yang melimpah di musim hujan. Khilafah juga akan memetakan wilayah rawan banjir dan membangun kanal-kanal pembuangan air. 

Jika tidak memungkinkan, maka Khilafah akan memindahkan warga ke tempat yang aman dan memberi kompensasi serta menjamin kehidupan warga. Selain itu, jika bencana terlanjur terjadi, Khilafah memiliki satuan siaga bencana yang akan menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan dalam rangka evakuasi dan pemulihan warga terdampak. 

Demikianlah, Islam memandang masalah banjir secara komprehensif. Islam akan melakukan pencegahan agar tidak terjadi bencana lingkungan dengan aturan yang berasal dari tuntunan Sang Maha Mengetahui yaitu Allah Swt.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membangkitkan Paradigma Perubahan dari Benak Para Pemuda Indonesia**

Perkembangan Penelitian IPB sebagai Penjawab Permasalahan Pertanian Indonesia

jilbab dan khimar...