Perkebunan kelapa sawit di era kapitalis dan prospeknya di era khilafah (menjawab seputar masalah pengelolaan oleh negara)
Diantara produk perkebunan dan pertanian yang ada di Indonesia, tanaman kelapa sawit memang masih menjadi primadona hingga saat ini. Tanaman bernama latin elaeis ini berasal dari Afrika Barat yang berhasil ditanam pertama kali di kebun raya Bogor kemudian dibudidayakan secara komersial pertama kali di Pantai timur Sumatra (Deli) dan Aceh oleh Adrian hallet warga Belgia (1911). Seabad kemudian industri kelapa sawit berkembang pesat, buktinya 95% modal investasi subsektor perkebunan ditanam di usaha perkebunan kelapa sawit. Selain itu, produk kelapa sawit dan turunannya menjadi sumber devisa utama non-migas dengan nilai US$ 23,933 miliar pada tahun 2015 atau setara dengan 311,138 triliun (DITJENBUN 2016)
Produksi minyak sawit
Minyak sawit adalah salah satu minyak yang paling banyak dikonsumsi dan diproduksi di dunia. Minyak yang murah, mudah diproduksi dan sangat stabil ini digunakan untuk berbagai variasi makanan, kosmetik, produk kebersihan, dan juga bisa digunakan sebagai sumber biofuel atau biodiesel. Kebanyakan minyak sawit diproduksi di Asia, Afrika dan Amerika Selatan karena pohon kelapa sawit membutuhkan suhu hangat, sinar matahari, dan curah hujan tinggi untuk memaksimalkan produksinya. Produksi minyak sawit dunia didominasi oleh Indonesia (36 juta ton metrik) dan Malaysia (21 juta ton metrik). Kedua negara ini secara total menghasilkan sekitar 85-90% dari total produksi minyak sawit dunia (Indonesia investment). Dalam jangka panjang, permintaan dunia akan minyak sawit menunjukkan kecenderungan meningkat sejalan dengan jumlah populasi dunia yang bertumbuh dan karenanya meningkatkan konsumsi produk-produk dengan bahan baku minyak sawit seperti produk makanan dan kosmetik. Sementara itu, pemerintah di berbagai negara sedang mendukung pemakaian biofuel berbahan dasar minyak sawit.
Produksi minyak sawit di Indonesia
Indonesia adalah produsen dan eksportir terbesar minyak sawit di dunia. Pertumbuhan produksi dan ekspor juga meningkat tiap tahunnya. Hal ini tampak dari jumlah produksi dan ekspor dari Indonesia dan juga dari pertumbuhan luas area perkebunan sawit. Berdasarkan data DITJENBUN, tercatat bahwa luas areal perkebunan sawit hingga tahun 2016 seluas 11,9 juta ha. Hal ini didorong oleh permintaan global yang terus meningkat dan keuntungan yang juga naik (tampak dari data BPS yang menunjukkan tren volume dan nilai keuntungan ekspor minyak sawit sejak tahun 1981 hingga september 2016 mengalami peningkatan), sehingga budidaya kelapa sawit telah ditingkatkan secara signifikan baik oleh petani kecil maupun para pengusaha besar di Indonesia. Prediksi dari GAPKI (gabungan pengusaha kelapa sawit Indonesia) menyatakan bahwa produksi kelapa sawit memiliki potensi peningkatan sebesar 40 juta ton per tahun hingga tahun 2020.
Siapa pemilik perkebunan sawit di Indonesia
Hampir 70% perkebunan kelapa sawit terletak di Sumatera. Sebagian besar dari sisanya - sekitar 30% - berada di pulau Kalimantan. Dalam hal geografi, Riau adalah produsen minyak sawit terbesar di Indonesia, disusul oleh Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Menurut data dari Indonesia Investment, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memainkan peran yang sangat sederhana di sektor kelapa sawit Indonesia karena mereka memiliki perkebunan yang relatif sedikit (6,63%), sementara perusahaan-perusahaan besar swasta (misalnya, Wilmar Group dan Sinar Mas Group) dominan karena menghasilkan setengah lebih sedikit dari total produksi minyak sawit di Indonesia (52,88%). Para petani skala kecil memproduksi sekitar 40,49% dari total produksi Indonesia. Meski demikian, kebanyakan petani kecil ini sangat rentan keadaannya apabila terjadi penurunan harga minyak kelapa sawit dunia karena mereka tidak dapat menikmati cadangan uang tunai (atau pinjaman bank) seperti yang dinikmati perusahaan besar. Menurut Agus Purnomo direktur perusahaan besar Sinar Mas Group mengatakan bahwa asal tandan buah segar yang diolah oleh perusahaan berasal dari banyak sumber. Diantaranya para pengumpul, pengecer, tengkulak, koperasi petani, sehingga petani mandiri pun ikut menjadi pemasok. Sehingga dari sini dapat disimpulkan bahwa lahan sawit yang sangat luas tersebut berasal dari banyak pihak, terutama perusahaan besar swasta asing dan petani mandiri. Sedangkan di Kalimantan Tengah sendiri, pada tahun 1981 Lembaga Penelitian Tanah (LPT) Bogor melakukan penelitian di Kalimantan Tengah dengan hasil bahwa teridentifikasi dari luasan 15.356.700 Ha lahan di Kalimantan Tengah terdapat 3.195.000 Ha merupakan lahan yang cocok untuk pengembangan berbagai jenis tanaman; Sebagian besar tanah dengan klasifikasi Kelas III dan IV yang bisa digunakan untuk berbagai jenis tanaman; Iklim menurut klasifikasi Smith and Ferguson diklasifikasikan dengan Iklim A yang cocok untuk tanaman kelapa sawit; Jenis tanah didominasi podsolik merah kuning. Pada Tahun 1984 disusun Rencana Induk Pengembangan Perkebunan (RIPP) Kalimantan Tengah, dimana kelapa sawit sebagai salah satu tanaman yang cocok pada iklim A, kelas tanah III dan IV serta jenis tanah podsolik merah kuning. Pada Tahun 1992 masuk investor PT. Indotruba Tengah bekerjasama dengan Angkatan Darat melalui Yayasan Kartika Eka Paksi yang didukung Salim Group di lokasi eks transmigrasi Amin Jaya Kabupaten Kotawaringin Barat. Saat ini, di Kalimantan Tengah sudah mulai menjamur perkebunan mandiri milik rakyat yang juga menanam kelapa sawit.
Bagaimana perizinan lahan sawit dilakukan
Pada Tahun 2013, Kementerian Pertanian mengeluarkan Peraturan terbaru yang mengatur mengenai pedoman perizinan perkebunan yaitu melalui Permentan Nomor 98 Tahun 2013. Dalam peraturan terbaru ini, Setiap pelaku usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu wajib memiliki izin usaha perkebunan. Izin Usaha Perkebunan yang selanjutnya disingkat IUP adalah izin tertulis dari Pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki oleh perusahaan perkebunan yang melakukan usaha budidaya perkebunan dan terintegrasi dengan usaha industri pengolahan hasil perkebunan. IUP diterbitkan oleh Bupati atau Walikota jika usaha perkebunan berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota. Jika perkebunan berada pada lintas wilayah kabupaten/kota, IUP diberikan oleh gubernur (Fakultas kehutanan IPB 2016). Pemberian IUP tersebut harus memenuhi syarat sesuai ketentuan Permentan dimana untuk usaha budidaya kelapa sawit harus memenuhi luasan minimal 1000 ha dan syarat usaha pengolahan hasil budidaya/ industri harus memenuhi minimal 5 ton tbs/ jam. Sedangkan bagi masyarakat yang memiliki perkebunan kurang dari 25 ha hanya mendaftar ke bupati/Walikota setempat. Secara teknis, untuk mendapat IUP ini, perusahaan harus mengajukan permohonan arahan lokasi ke bupati/Walikota. Setelah surat keputusan arahan lokasi (non hutan) terbit, perusahaan melakukan survey kesesuaian lahan selama 6-12 bulan. Kemudian, setelah sesuai, perusahaan harus mengajukan permohonan izin prinsip (berlaku 1 tahun) dan mulai berkegiatan di dalamnya. Setelah itu perusahaan harus mengajukan izin lokasi (berlaku 2 tahun) dan dilanjutkan proses AMDAL sebagai syarat mendapatkan IUP. Setelah IUP didapatkan, lanjut permohonan pembukaan lahan (LC) dan perusahaan harus melaksanakan kewajibannya untuk mendapatkan hak guna usaha (HGU). Proses permohonan HGU didapat dengan beberapa cara yaitu 1) jual beli. 2) pelepasan hak oleh notaris jika tanahnya tidak terdaftar. 3) permohonan hak jika tanah dikuasai oleh negara. 4) tukar menukar jika tanahnya dikuasai pemerintah. 5) penyerahan pembayaran rekognisi jika tanah milik ulayat/adat.
Dampak adanya perkebunan sawit
Imbas negatif dari adanya perkebunan sawit ini menurut Indonesia investment terletak pada lingkungan hidup dan penurunan jumlah produksi hasil-hasil pertanian lain karena banyak petani beralih ke budidaya kelapa sawit. Isu lain yang berkembang adalah Indonesia merupakan penghasil gas emisi rumah kaca terbesar setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Amerika Serikat (AS). Selain itu, adanya efek samping terhadap kesehatan manusia karena mengandung kadar lemak jenuh yang tinggi. Namun demikian, dampak yang nyata adalah fakta bahwa bisnis minyak sawit menjadi sebab kunci dari penggundulan hutan, serta penyebab munculnya konflik pertanahan (sengketa lahan perkebunan). Lantas bagaimana kebijakan negara kapitalis dalam menyikapi hal ini?
Kebijakan negara kapitalis berkaitan dengan harga minyak sawit
Beberapa hari terakhir, banyak kita lihat berita berkaitan dengan menurunnya harga sawit di tingkat dunia. Ada banyak faktor yang mempengaruhi naik turunnya harga sawit yaitu permintaan & persediaan, harga minyak nabati lain (terutama kedelai), cuaca, kebijakan impor negara-negara yang mengimpor minyak kelapa sawit, perubahan dalam kebijakan pajak dan pungutan ekspor/impor (Indonesia investment). Untuk menanggulangi kerugian akibat merosotnya harga sawit, maka negara memberi peluang kepada perusahaan besar seperti UNILEVER untuk investasi di bidang penyulingan minyak (karena selama ini Indonesia mengekspor bahan mentah) yang akan mengolah minyak sawit mentah menjadi berbagai produk turunannya sehingga nilai jual semakin tinggi. Namun yang perlu dikritisi adalah seberapa besar kontribusi investasi perusahaan tersebut terhadap upaya mengentaskan kemiskinan bagi rakyat per orang? Bukan sekedar hitungan secara agregat.
Kebijakan negara kapitalis terhadap isu lingkungan
Pemerintah Indonesia telah sering dikritik kelompok-kelompok pecinta lingkungan hidup karena terlalu banyak memberikan ruang untuk perkebunan kelapa sawit (yang berdampak pada penggundulan hutan dan penghancuran lahan bakau). Maka, sejalan juga dengan semakin banyaknya perusahaan internasional yang mencari minyak sawit ramah lingkungan sesuai dengan kriteria Roundtable on Sustainable Palm Oil - perkebunan-perkebunan di Indonesia dan pemerintah perlu mengembangkan kebijakan-kebijakan ramah lingkungan. Para pemerintah negara-negara Barat (misalnya Uni Eropa) telah membuat aturan-aturan hukum yang lebih ketat mengenai produk-produk impor yang mengandung minyak sawit, sehingga mendorong produksi minyak sawit yang ramah lingkungan. Pada tahun 2011, Indonesia mendirikan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing global dari minyak sawit Indonesia dan mengaturnya dalam aturan-aturan ramah lingkungan yang lebih ketat. Semua produsen minyak sawit di Indonesia didorong untuk mendapatkan sertifikasi ISPO. Namun, ISPO ini tidak diakui secara internasional. Bukti nyata bahwa kebijakan pemerintah Indonesia belum berdaulat dan masih bergantung pada kebijakan asing
Kebijakan negara kapitalis terhadap penggundulan hutan
Meskipun luas perkebunan kelapa sawit di Sumatera dua kali lipat dari Kalimantan, namun potensi terbesar terjadinya perluasan lahan justru ada di Kalimantan. Luas perkebunan kelapa sawit di Kalimantan terus meningkat dari tahun ke tahun dengan laju pertumbuhan sebesar 6,72%. Pemerintah Indonesia menandatangani moratorium berjangka waktu dua tahun mengenai hutan primer yang mulai berlaku 20 Mei 2011 dan selesai masa berlakunya pada Mei 2013. Setelah habis masa berlakunya, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memperpanjang moratorium ke dua tahun selanjutnya. Moratorium ini mengimplikasikan pemberhentian sementara dari pemberian izin-izin baru untuk menggunakan area hutan hujan tropis dan lahan bakau di Indonesia. Pada beberapa kesempatan, media internasional melaporkan bahwa moratorium ini telah dilanggar oleh perusahaan-perusahaan Indonesia. Meski begitu, moratorium ini berhasil membatasi - untuk sementara - ekspansi perkebunan-perkebunan sawit. Namun perusahaan-perusahaan besar minyak sawit masih memiliki lahan luas yang baru setengahnya ditanami, berarti masih banyak ruang untuk ekspansi. Pada Mei 2015, Presiden Joko Widodo kembali memperpanjang moratorium ini untuk periode 2 tahun. Jadi setelah 2 tahun/ selesainya moratorium, ekspansi perkebunan sawit diperkirakan akan berlanjut. Lagi pula, kebijakan ini dinilai belum sepenuhnya berhasil karena tak menyentuh persoalan mendasar tata kelola hutan dan gambut, yaitu soal tumpang tindih regulasi dan sektoralisme pengelolaan hutan dan gambut. Tentu ini bukan cara yang solutif untuk mengatur tumbuhnya perkebunan sawit baru di areal hutan. Lantas bagaimana pengaturan negara yang seharusnya dilakukan untuk menghindari pembabatan hutan secara terus menerus?
Kebijakan negara kapitalis terhadap penanggulangan konflik sengketa lahan
Konflik sengketa lahan sering kali ditemui di daerah yang berdekatan dengan perkebunan sawit. Seperti halnya kasus di Kalimantan Barat dimana 2600 ha lahan masyarakat yang statusnya tumpang tindih dengan perusahaan sawit PT Rezeki Kencana. Akibatnya, semua tanaman yang ditanam oleh masyarakat di lahan tersebut dimusnahkan oleh perusahaan. Banyak ditemui cerita warga, salah satunya Alimah penduduk paling sepuh di kuburaya Kalimantan Barat bahwa pihak perusahaan datang secara tiba-tiba dan menyatakan ingin membeli lahan, padahal Alimah tidak ada niatan untuk menjual lahan yang ia dapatkan dari pemberian pemerintah kepada warga transmigran. Dalam negara kapitalis, konflik sengketa lahan ini sering kali terjadi akibat abainya pemerintah dalam mengawal pembebasan tanah oleh perusahaan. Dengan kata lain, proses HGU yang mensyaratkan pembebasan lahan ini tidak melibatkan masyarakat dan juga kemungkinan besar melakukan kecurangan dalam pelaporan pembebasan lahan kepada pemerintah setempat. Tidak ayal jika di lapangan, sering ditemui perusahaan yang memaksa penggunaan lahan masyarakat dengan dalih mendapat surat arahan lokasi dari pemerintah. Meskipun dipertemukan pihak perusahaan dan pemerintah serta masyarakat, tetap saja yang menang adalah pihak yang memiliki modal sehingga nampak pemerintah tidak serius menindak dan perusahaan tidak memiliki niat yang baik untuk menyelesaikan. Hal ini terbukti, pada tahun 2014, Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang diterbitkan Pemerintah di Kalimantan sudah mencapai 9,14 juta hektare, meskipun baru sekitar 2,78 juta hektare yang telah mengantongi Hak Guna Usaha (HGU). Selain itu, hutan dan gambut di Indonesia diatur lima bidang regulasi sumber daya alam, yaitu agraria, kehutanan, lingkungan hidup, pertanian dan perkebunan serta tata ruang. Masing-masing bidang regulasi mengatur fungsi-fungsi tertentu pengelolaan hutan dan gambut. Misalnya, regulasi lingkungan hidup dan aturan pelaksana pada PP 57/2016 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut mengutamakan perlindungan dan restorasi gambut. Bidang regulasi pertanian dan perkebunan melalui aturan lebih teknis misal peraturan menteri No. 14/ 2009 tentang pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya sawit menyasar gambut untuk usaha perkebunan dan memungkinkan izin-izin baru muncul (Nurul dalam mongabay.co.id). Disisi lain, sebetulnya bila dibandingkan antara produksi CPO dengan luas total perkebunan kelapa sawit, nampak bahwa produktivitas lahan di Indonesia masih di bawah Malaysia. Ini juga mengindikasikan bahwa meskipun Indonesia menjadi produsen kelapa sawit nomor satu di dunia, namun ternyata sangat rakus lahan. Produktivitasnya lebih rendah, tetapi areal tanaman yang digunakan untuk berproduksi dua kali lipat lebih luas. Di sisi lain, Pemerintah juga membuka wacana untuk mengembangkan 1,8 juta hektar perkebunan kelapa sawit di daerah perbatasan Kalimantan-Malaysia. Padahal, sejak penerapan kebijakan Otonomi Daerah pada tahun 2001 hingga sekarang, sejumlah Pemerintah Daerah sudah membuat pengembangan program perkebunan kelapa sawit, bahkan dengan skala yang cukup luas. Nampaklah bahwa pemerintah hanya fokus melancarkan bisnis korporat dibandingkan menyelesaikan masalah dasar yaitu banyaknya konflik sengketa lahan.
Tingkat kesejahteraan dan kemiskinan
Berdasarkan peraturan kementerian pertanian, bahwa setiap perusahaan yang sudah memiliki sertifikat HGU diwajibkan untuk memfasilitasi pembangunan perkebunan sawit milik rakyat sebanyak 20% dari luas lahan HGU. Dimana 20% kebun sawit yang dimaksud diluar dari lahan HGU. Fasilitas pembangunan kebun sawit masyarakat sebagaimana dimaksud dapat dilakukan melalui pola kredit, bagi hasil, atau bentuk pendanaan lain yang disepakati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun tersebut harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Hak Guna Usaha diberikan dan harus dilaporkan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Beberapa penelitian memang menunjukkan bahwa keberadaan perusahaan sawit di tempat yang jauh dari perkotaan tersebut membawa dampak positif dari segi ekonomi. Namun berdampak negatif dari segi sosial karena kebanyakan masyarakat mulai sibuk mencari penghasilan di sekitar kebun sawit tanpa menghiraukan aktivitas gotong royong. Khususnya di Kalimantan Tengah, peran strategis perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah khususnya di Kabupaten Kotawaringin Barat baik secara ekonomis, ekologis maupun sosial budaya ini digambarkan melalui kontribusinya dalam penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB), nilai investasi yang tinggi dalam pembangunan perekonomian nasional, berkontribusi dalam peningkatan penerimaan negara dari cukai, pajak ekspor dan bea keluar, penyediaan bahan pangan dan bahan baku industri, penyerap tenaga kerja, sumber utama pendapatan masyarakat pedesaan, daerah perbatasan dan daerah tertinggal, pengentasan kemiskinan, penyedia bahan bakar nabati dan bioenergy yang bersifat terbarukan, berperan dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca serta berkontribusi dalam pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup dengan mengikuti kaidah konservasi (Renstra Ditjenbun, 2015-2019). Namun hal ini perlu dicermati bahwa kesejahteraan yang tercapai di masing2 wilayah adalah akibat desentralisasi, dimana negara berlepas tangan dari menangani kesejahteraan warganya dengan menyerahkan ke masing2 wilayah untuk dikelola (dalam hal ini, pemerintah wilayah menyerahkan kepada asing untuk mengelola SDA)
Prospek masa depan perkebunan sawit di dunia khilafah
Melihat potensi produktivitas tanaman kelapa sawit dan urgensitasnya bagi pemenuhan kebutuhan manusia (makanan, kosmetik, biofuel, dll), maka bisa dikatakan keberadaan komoditas ini menjadi salah satu yang penting untuk dilanjutkan oleh Daulah khilafah. Terlebih lagi, Indonesia sebagai negara agraris bukan tidak mungkin akan menjadi pusat pengembangan kelapa sawit. Hal ini juga melihat kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa sawit di Indonesia. Berangkat dari memahami hakikat keberadaan sektor pertanian (perkebunan) dalam daulah khilafah, bahwa pertanian sebagai upaya pemerintah dalam melaksanakan politik ekonomi islam, maka jelas keberadaan pertanian tidak terlepas dari sektor lain seperti perdagangan, jasa, industri, dan pertanahan. Semuanya berkaitan erat yang memerlukan pengelolaan berupa kebijakan oleh Daulah. Sebagaimana islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, maka termasuk pula sektor pertanian (perkebunan) dalam hal ini perkebunan kelapa sawit juga akan diatur melalui kebijakan syariah yang didukung oleh sektor-sektor lainnya. Berkaitan dengan hal ini, perkebunan sawit yang sekarang tumbuh subur dan kemungkinan akan meluas (khususnya) di Kalimantan, Daulah akan melaksanakan beberapa kebijakan yang akan menyelesaikan berbagai masalah utama. Adapun masalah utama dari adanya perkebunan sawit ini yaitu menjamurnya lahan perkebunan sawit milik perusahaan swasta/asing (privatisasi), seringnya muncul konflik/sengketa lahan antara warga dan perusahaan, dan tidak stabilnya harga sawit. Kebijakan tersebut diantaranya:
- Kebijakan daulah terhadap banyaknya perkebunan sawit swasta
- Privatisasi terjadi karena negara kapitalis memberlakukan sistem otonomi daerah/desentralisasi. Dimana peraturan wilayah/daerah diserahkan kepada gubernur/ walikota/ bupati, sehingga memicu adanya kebebasan dalam mengatur perkebunan sawit dan banyaknya kepentingan dalam penentuan peraturan wilayah. Misalnya, demi meraup keuntungan bagi pemangku jabatan di wilayah, rela memberikan ijin pembukaan lahan untuk pemilik modal/ asing. Dalam islam, setiap wilayah yang dipimpin oleh wali mensyaratkan agar pelaksanaan kebijakan pertanian (perkebunan) harus sesuai dengan syariat islam. Sehingga tidak akan ada lagi kebebasan asing untuk menguasai lahan yang notabene untuk perkebunan sawit.
- Daulah akan mengatur luasan lahan yang akan dipakai untuk perkebunan sawit. Berawal dari upaya pemerintah dalam melihat urgensitas adanya kebun sawit dengan melakukan penelitian2, maka akan nampak berapa luasan yang dibutuhkan oleh Daulah untuk menghasilkan produksi minyak sawit (sesuai kebutuhan rakyat, khususnya Indonesia). Dan berapa luasan yang dibutuhkan untuk penggunaan produk lain berbahan dasar minyak sawit. Serta berapa lahan yang dibutuhkan untuk menghasilkan produksi minyak sawit yang akan di didistribusikan ke wilayah lain Daulah diluar Indonesia. Serta produksi minyak (dan olahannya) untuk diekspor ke negara lain. Hal ini tentu mencakup negara Malaysia (negara penghasil minyak) jika suatu saat berada dibawah naungan Daulah. Sehingga akan sangat efektif dan efisien dalam penggunaan lahan
- Daulah akan melakukan kebijakan untuk peningkatan produksi sawit. Daulah dapat mengupayakan intensifikasi dengan pencarian dan penyebarluasan teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani; membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya. Pilihan atas teknologi serta sarana produksi pertanian yang digunakan harus berdasarkan IPTEK yang dikuasai, bukan atas kepentingan industri pertanian asing. Dengan begitu, ketergantungan pada intervensi pihak asing dalam pengelolaan pertanian Negara dapat dihindarkan. Dalam permodalan, Negara harus memberikan modal bagi siapa saja yang tidak mampu mengolah lahannya, sebagai hibah (hadiah), bukan sebagai hutang. Seperti Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Maal (kas Negara) kepada para petani di Irak, yang dapat membantu mereka untuk menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka, tanpa meminta imbalan dari mereka.
- Daulah melarang sewa tanah pertanian. Adanya larangan tersebut dikaitkan dengan hukum kewajiban pengelolaan maka akan menjamin adanya optimalisasi sumber daya manusia. Sebab kepada setiap orang hanya dapat memiliki dan menguasai tanah pertanian sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya dalam hal mengelola tanah tersebut. Sebaliknya kepada orang-orang yang mampu mengelola tetapi tidak mempunyai tanah pertanian akan memperolehnya secara gratis dari negara. Dengan demikian sumber daya manusia yang ada benar-benar dapat dimanfaatkan secara optimal. Dengan kondisi ini juga Islam berusaha untuk menjamin distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Sebab dengan dibolehkannya penyewaan tanah pertanian, maka orang-orang yang menguasai tanah pertanian yang sangat luas tentunya akan tetap menguasainya meskipun dia sendiri tidak mampu mengolahnya. Sebaliknya orang-orang yang mampu mengolah selamanya tidak akan dapat memiliki tanah pertanian. Dari sinilah kita dapat mengetahui bahwa salah satu hikmah dilarangannya penyewaan tanah pertanian adalah dalam rangka menjamin adanya distribusi kekayaan ditengah masyarakat dan agar harta kekayaan termasuk tanah tidak hanya beredar diantara orang-orang kaya saja.
2. Kebijakan daulah terhadap sengketa lahan
- Selain intensifikasi, Daulah akan melakukan ekstensifikasi pertanian untuk mendongkrak produksi yaitu dengan membuka lahan baru. Dengan data luasan yang didapat dari penelitian, Daulah mendahulukan keberlangsungan lahan sawit milik rakyat kemudian membuka lahan baru berupa hutan dan menghidupkan tanah mati. Lahan baru bisa berasal dari lahan hutan, lahan pasang surut, dan sebagainya sesuai dengan pengaturan Negara. Sehingga terjaga hak2 individu dalam mengelola lahannya
- Sengketa lahan terjadi karena adanya ketidakjelasan status kepemilikan tanah. Kalau kita cermati secara lebih mendalam maka nash-nash syara’ yang berkaitan dengan kepemilikan lahan, maka akan kita temukan Islam mempunyai ketentuan-ketentuan hukum yang berbeda dengan kepemilikan benda-benda lainnya. Kepemilikan lahan di dalam Islam sangat tergantung dengan status tanah yang bersangkutan apakah tanah yang diperoleh karena penaklukan atau tidak. Kepemilikan atas tanah juga tergantung dengan status pemanfaatannya apakah untuk pertanian atau untuk selain pertanian. Juga status lahan tersebut apakah tanah yang mati ataukah tanah yang sudah pernah dihidupkan. Serta tanah tersebut apakah dimiliki oleh individu ataukah oleh negara. Dalam hal ini, tanah di Indonesia berstatus tanah usyriah yaitu tanah milik kaum muslim tanpa adanya penaklukan terlebih dahulu. Tanah yang seperti ini kepemilikan tanahnya adalah milik penduduk setempat. Berkaitan dengan tanah usyriah, maka individu dapat memiliki tanah tersebut, apakah dengan cara menghidupkan tanah mati, hibah, membeli, atau hadiah. Bagi individu yang memiliki tanah usyriah maka orang tersebut bukan hanya memiliki hak kegunaan atas tanah tapi juga zat tanahnya. Berbeda dengan kharajiah dimana orang tersebut hanya mendapat hak kegunaan tanah, sedangkan zat tanah masih milik negara/ Baitul mal. Jadi kepemilikan individu tanah kharajiah tetap membayar kharaj setahun sekali. Sedangkan kepemilikan individu tanah usyur berlaku bagi muslim yang mengupayakan tanahnya untuk pertanian dan sudah mencapai nishabnya. Berkaitan dengan lahan yang dipakai untuk perkebunan sawit, akan dikembalikan lagi kepada negara. Bisa jadi negara akan memberi tanah secara cuma2 kepada individu yang mampu mengelola sawit dan berlaku usyur/zakat pertanian. Bisa jadi pula, individu tersebut menghidupkan tanah mati/tanah marjinal. Tanah mati (ardun mawat) menurut hukum Islam adalah tanah yang tidak ada pemiliknya atau nampak tidak pernah dimiliki oleh seseorang, serta tidak nampak ada bekas apapun yang menunjukkan bahwa tanah tersebut pernah dikelola baik berupa pagar, tanaman bekas bangunan atau bentuk pengelolaan lainnya. Yang dimaksud dengan menghidupkan tanah mati artinya adalah mengelola tanah tersebut atau menjadikan tanah tersebut menjadi bermanfaat untuk berbagai keperluan atau menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami atau dimanfaatkan. Upaya menghidupkan tanah tersebut dapat dilakukan dengan memagarinya, mematoknya (memberi batas), mendirikan bangunan di atas tanah tersebut, menanaminya dengan tanaman tertentu atau dengan cara apapun yang yang menjadikan tanah tersebut menjadi “hidup”. Setiap tanah yang mati, jika telah dihidupkan oleh seseorang, adalah menjadi milik yang bersangkutan. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah yang mati, maka tanah tersebut adalah menjadi hak miliknya.” (HR. Imam Bukhari, dari Umar bin Khaththab). Selebihnya, tanah mati yang banyak tersebar di Kalimantan ini akan dikelola oleh negara melalui kerjasama dengan perusahaan yang bentuknya dibolehkan oleh syara’ dan hasilnya akan dikembalikan lagi oleh negara dalam bentuk lain yang berguna bagi masyarakat. Sehingga negara secara total memanfaatkan tanah untuk kepentingan masyarakat dan tidak akan ada sengketa lahan karena negara mengetahui serta mengontrol tanah yang sudah menjadi milik individu.
3. Kebijakan daulah terhadap ketidakstabilan harga dan kesejahteraan masyarakat
- Melakukan pemerataan hasil produksi sawit agar terpenuhi kebutuhan pokok warga yaitu sebagai bahan minyak goreng yang efisien dan mengatur harga pasar untuk mensejahterakan petani sawit. Sehingga tidak ada aktifitas menimbun barang yang dilakukan orang per orang dan perusahaan.
- Selain bekerja sama dengan petani yang memiliki lahan sawit, daulah juga bekerja sama dengan perusahaan (sesuai ketentuan syariat islam) untuk memproduksi sawit. Adapun perusahaan (syirkah) yang dibolehkan oleh syariat islam diantaranya a) syirkah inan, yaitu kerjasama antara dua pihak yang masing2 memberikan kontribusi berupa modal dan berpartisipasi dalam pekerjaan. b) syirkah ‘abdan, yaitu kerjasama usaha antara dua orang atau lebih yang masing2 berpartisipasi dalam pekerjaan, tanpa memberikan kontribusi modal. c) syirkah mudharabah yaitu akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan modalnya, sedangkan pihak kedua menjadi pengelola. d) syirkah wujuh yaitu kerjasama usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih yang bersama2 mengelola usaha, sedangkan modalnya berasal dari pihak diluar kedua pihak tersebut. e) syirkah mufawadhah yaitu sebuah perusahaan yang menggabungkan keempat bentuk perusahaan yang diizinkan oleh islam. Sedangkan PT (perseroan saham) tidak diperbolehkan dalam islam karena bentuk perusahaan ini tidak sesuai dengan kelima bentuk perusahaan yang diperbolehkan syara’. Dari sini negara menjaga keberlangsungan produksi sawit, juga memastikan stok sawit tidak menurun yang berakibat mahalnya harga sawit
- Kerjasama antara negara dan perusahaan ini juga ditujukan untuk membangun industri pengolahan minyak sawit menjadi produk jadi agar dapat menambah nilai jual minyak sawit.
- Daulah memiliki kontrol penuh terhadap harga sawit internasional dan tidak terikat dengan peraturan negara kafir yang jelas2 membutuhkan/impor sawit dari Daulah. Tidak seperti sekarang, yang mana sawit Indonesia terombang ambing dengan isu internasional (isu lingkungan, dan lainnya) dan terikat kebijakan2 internasional seperti RSPO.
KESIMPULAN
Berdasarkan kajian diatas, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan perkebunan kelapa sawit di negara khilafah akan sangat berbeda dengan pengelolaanyang dilakukan oleh negara kapitalis. Perbedaan mendasarnya adalah, bahwa negara khilafah melakukan pengelolaan tersebut berdasarkan tugas negara sebagai pengayom warganya. Sehingga jelas negara khilafah akan fokus pada kesejahteraan warga dengan menerapkan hukum islam dalam setiap kebijakannya. Dalam hal ini nampak pada kontrol negara yang penuh terhadap produksi (termasuk pengaturan lahan perkebunan), distribusi, dan penentuan harga sawit di dlm negeri maupun didunia. Tidak seperti negara kapitalis, dimana kebijakan yang dilakukan berdasarkan pada kepentingan pemilik modal dan terdapat kebebasan dalam membuat/menentukan kebijakan.
Wallahu a’lam bi ashowab
Sumber bacaan :
Ma’ruf amar. 2018. Pengelolaan kelapa sawit (penyiapan lahan). Asahan : Universitas Asahan
Sari AA. 2016. Asal usul status dan sejarah penutupan lahan perkebunan sawit besar di Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB
Komentar
Posting Komentar