SWASEMBADA KEDELAI DENGAN OPTIMALISASI LAHAN PASANG SURUT



Oleh
Ainun Istiharoh*
*Mahasiswi Pascasarjana Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanain Bogor


PENDAHULUAN
            Pertanian secara sederhana dihubungkan dengan istilah tanaman, bercocok tanam, produksi, pengelolaan hasil panen, dan pemasaran hasil panen. Seringkali istilah tersebut menjadi faktor penentu tercapainya ketahanan pangan suatu bangsa. Meskipun secara arti luas pertanian meliputi juga perikanan, peternakan, dan kehutanan, tetap saja hal tersebut tidak terlepas dari upaya yang berkaitan dengan produksi, pengolahan, dan pemasaran. Pertanian hingga kini tetap menjadi suatu hal yang penting karena secara filosofi berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Maka tidaklah heran jika Bung Karno dalam pidatonya mengatakan bahwa “masalah pertanian adalah soal hidup dan matinya bangsa”. Sejarah mencatat bahwa pertanian menyumbang keberhasilan terbesar dalam kemajuan suatu bangsa. Bagaimana kita lihat negara Romawi, Yunani, dan Persia menjadikan pertanian sebagai penopang ekonomi negara. Bahkan peradaban islam mencapai puncak kejayaannya diawali dari pemilihan wilayah madinah yang dipilih karena kondisi pertaniannya yang subur. Rusia sebagai negara adidaya pada zamannya menjadi runtuh disebabkan salah satunya disebabkan oleh ketiadaan logistik (pangan) sebagai bekal dalam berperang. Hal ini jelas bahwa pertanian tidak bisa disepelekan hingga ketahanan pangan menjadi kunci pembuka dari kemajuan suatu bangsa. Faktor-faktor yang disebutkan diawal paragraf merupakan kunci yang harus diperhatikan mengingat salah satu sub sistem dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan yaitu berkaitan dengan produksi dan pengolahan, juga keterjangkauan yang berkaitan dengan proses distribusi dan harga pasar.

SWASEMBADA MENUJU KEMANDIRIAN PANGAN
          Istilah kemandirian pangan sampai saat ini menjadi perbincangan dikalangan akademisi maupun pemangku kebijakan. Definisi dan paradigma kemandirian pangan seringkali dilekatkan dengan kedaulatan dan ketahanan pangan. Definisi ini terus mengalami perkembangan sejak adanya Conference of Food and Agriculture tahun 1943 yang mencanangkan konsep secure, adequate and suitable supply of food for everyone (jaminan, kecukupan, dan supply yang terjangkau dari makanan untuk semua orang) (Hanani 2009). Berdasarkan UU No.18/2012 tentang pangan, membedakan bahwa definisi kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri, yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan, dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
            Sedangkan kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangannya sendiri, menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya, memberikan hak bagi masyarakatnya untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumberdaya lokal.
     Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat (ukuran kinerja), untuk hidup sehat, aktif, produktif secara berkelanjutan (outcome). Swasembada yang ditargetkan tercapai pada tahun 2014 ini ternyata mengalami banyak hambatan dan berdasarkan arahan baru RPJMN 2015-2019, didapati bahwa target ini masih tetap diupayakan yaitu untuk peningkatan produksi pangan pokok: padi, jagung, kedelai, gula, daging dan ikan. Arahan lainnya adalah stabilisasi harga, perbaikan kualitas gizi masyarakat, pemberdayaan dan perlindungan petani/nelayan/ pembudidaya ikan, peningkatan daya saing dan nilai tambah komoditi pertanian dan perikanan
Berdasarkan hasil evaluasi paruh waktu RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2010-2014 mencatat, pencapaian target swasembada tersebut tidak signifikan atau bahkan dibawah standar target yang ditetapkan, terlebih lagi dalam rangka pencapaian swasembada kedelai. Misalnya saja swasembada kedelai mendapat rapor warna merah yang berarti kebijakan sudah on the track. Itu sebabnya, Kementan perlu melanjutkan dengan mengoptimalkan pelaksanaan program. Sedangkan untuk pencapaian swasembada padi, jagung dan gula dengan rapor warna kuning, yang berarti  perlu upaya-upaya khusus yang efektif untuk percepatan peningkatan kinerja program. Untuk  swasembada kedelai yang mendapat  rapor merah, maka perlu upaya ekstra keras untuk mengejar pencapaian target swasembada (agroindonesia.go.id). Sehingga diperlukan kajian strategis dalam rangka pencapaian swasembada kedelai menuju kemandirian produksi kedelai.

KONDISI KEDELAI NASIONAL
            Kedelai menjadi komoditas penting di Indonesia dikarenakan permintaan masyarakat terhadap tahu, tempe, kecap, dan tauco cukup tinggi sepanjang tahun dan harga yang cukup terjangkau. Menurut data Kementerian Perdagangan pemenuhan produksi kecap yang semakin meningkat ditambah lagi kebutuhan produksi tauco, menuntut penyediaan kedelai hitam sebesar 325 220 ton kedelai atau 14.7 % dari konsumsi nasional (Siadari 2012). Selain itu, kebutuhan terhadap kedelai kuningpun juga meningkat. Peningkatan terhadap kedelai kuning dan kedelai hitam juga dipicu karena kandungan proteinnya yang tinggi dibandingkan kacang-kacangan lainnya. Terlebih lagi kedelai hitam yang memiliki kandungan protein lebih tinggi daripada kedelai kuning. Menurut Adie dan Krisnawati (2012), kedelai hitam memiliki kandungan nutrisi dan antioksidan tinggi. Pigmen hitam pada kedelai dapat dijadikan sebagai antosianin prima dan mengandung 6 g lemak (lemak tak jenuh ganda), 2 g serat larut serta 5 g serat tak larut. Serat larut membantu mencegah dan mengobati sembelit, sedangkan serat tak larut membantu menurunkan kadar kolesterol darah dan glukosa.
            Selain permasalahan impor yang menjadi polemik hingga saat ini, ditambah lagi masalah kedelai lain yaitu menaiknya harga kedelai pada beberapa kurun waktu terakhir. Lonjakan harga kedelai sudah terjadi sejak 1998, tahun 2008, dan tahun 2012 hingga sekarang. Awal September 2013, harga kedelai kembali mencapai rekor tinggi dengan harga Rp 9 500 bahkan di beberapa daerah ada yang menembus Rp 10 000 per kilogram. Permasalahan ini menambah semakin sulit tercapainya swasembada kedelai.

ANALISIS DAN SOLUSI MASALAH
            Pencapaian swasembada kedelai bukan tidak mungkin tercapai, hanya saja perlu untuk melihat kondisi secara umum perkembangan kedelai nasional. Perkembangan kedelai nasional secara garis besar terkendala dengan dua isu besar yaitu impor kedelai dan terjadinya fluktuasi harga. Permasalahan impor kedelai dan naiknya harga kedelai bukan semata permasalahan produksi. Maksudnya adalah, permasalahan produksi seringkali dijadikan sebagai penyebab terjadinya impor kedelai dan naiknya harga kedelai nasional. Premis pertama menyatakan bahwa akibat dari kurangnya produksi dan meningkatnya kebutuhan kedelai menyebabkan diambilnya kebijakan impor. Sedangkan premis kedua terkait naiknya harga kedelai beberapa tahun terakhir ini seringkali diakibatkan karena tingkat permintaan meningkat dan penawaran menurun yang juga diakibatkan karena produksi yang berkurang.
            Kedua masalah tersebut sejatinya tidak hanya diakibatkan oleh menurunnya produksi, namun lebih dari itu. Masalah menurunnya produksi juga diakibatkan karena lahan yang digunakan untuk pertanian semakin sempit karena terjadinya konversi lahan dan pengurangan subsidi pertanian. Akibat pengurangan subsidi, berbagai fasilitas dan dukungan kepada petani semakin kecil dan biaya produksi terus naik. Selain itu teknologi dan teknik budidaya tidak mengalami kemajuan sehingga produktivitas tidak naik. Pada saat yang sama, kran impor terbuka lebar pasca diberlakukannya CAFTA, sehingga kedelai impor pun membanjiri pasar dalam negeri. Menanam kedelai tidak lagi menarik dan menguntungkan bagi petani. Akibatnya produksi kedelai turun drastis. Pada saat swasembada tahun 1992, produksi kedelai mencapai 1.87 juta ton dari luas lahan sekitar 1.8 juta hektar. Jumlah itu terus menyusut dan kini hanya sekitar 600 ribu hektar dengan produksi 700-800 ribu ton. Sementara, kebutuhan kedelai nasional diperkirakan mencapai 2.5 juta ton. Kurangnya, sekitar 1.8 juta ton dipenuhi dari impor dengan nilai Rp 4.4 triliun (Badan Litbang Pertanian 2005)
Lonjakan harga kedelai pun saat ini bukan hanya karena kurangnya pasokan dan bukan juga karena kenaikan harga internasional. Menurut direktur INDEF Enny Sri Hartati (10/9), data FAO dan Departemen Perdagangan Amerika Serikat menunjukkan tren harga kedelai justru menurun (komoditas indonesia 2012). Pada Juli 2013 harga USD 577 per ton, dan memasuki Agustus, harga menjadi USD 523 per ton. Melemahnya nilai rupiah, juga tidak begitu berpengaruh. Meskipun rupiah melemah terhadap dolar, harga kedelai dalam dolar di pasar internasional juga turun. Lonjakan harga juga bukan karena permintaan dalam negeri melonjak. Lonjakan harga itu diduga kuat karena permainan kartel, masuknya pasokan lambat akibat kebijakan yang terlambat, dan kegagalan kebijakan mengelola stok. Keterlambatan pasokan di antaranya karena terlambatnya penerbitan Surat Persetujuan Impor (SPI). Menurut KPPU, merujuk pada keterangan Dewan Kedelai Nasional, proses penerbitan SPI untuk kedelai dianggap terlambat. Importir sudah terdaftar sejak 31 Juli, namun proses pemberian SPI baru 31 Agustus. Permainan kartel dimungkinkan karena impor kedelai dikuasai oleh hanya segelintir perusahaan. INDEF menemukan fakta, dari data SPI yang diterbitkan 28-30 Agustus lalu, tiga perusahaan importir menguasai 66.3 persen kuota impor kedelai dari Amerika Serikat. Secara total, importir mengajukan 886 200 ton. Namun yang disetujui hanya 450 900 ton. Memang ada 14 perusahaan yang mendapat SPI, tapi satu perusahaan dapat kuota besar sekali, dan yang lain kuotanya kecil-kecil. Tiga perusahaan yang menguasai tata niaga kedelai: PT FKS Multi Agro dapat kuota 210 600 ton atau 46.7 %; PT Gerbang Cahaya Utama 46 500 ton atau 10.3 % dan PT Budi Semesta Satria 42 000 ton atau 9.3 %. Total ketiganya 299 100 ton atau 66 33 %. Tiga perusahaan mendapat kuota 4-5 persen dan delapan perusahaan lainnya berkisar 2 – 0.6 %. Sementara kuota Bulog hanya 20 ribu ton atau 4.4 % (Tribunnews 2013). Sementara data Koran Kota importir kedelai yang terdaftar di Kementerian Perdagangan berjumlah 71 importir. Namun anehnya, hanya PT Cargill Indonesia, PT Gerbang Cahaya Utama, PT Sekawan Makmur Bersama, PT Teluk Intan, PT Cibadak, PT Sungai Budi, PT Alam Agri Perkasa dan PT Gunung Sewu yang secara riil diduga menjadi penentu pasokan dan harga kedelai di pasar. Hal ini dimungkinkan para importir menahan pasokan agar untung besar. Sebab lonjakan harga ini bukan karena stoknya tidak ada. Menteri Perdagangan mengatakan, untuk mengatasi lonjakan harga, telah disiapkan stok di luar Bulog 315 ribu ton. Artinya, stok itu selama ini memang ada, tetapi tidak dikeluarkan. Sehingga kebijakan pemerintah diharapkan tegas kepada para importir tersebut.
Permasalahan yang melanda kedelai nasional ini secara garis besar tidak hanya karena lemahnya produksi namun faktor diluar produksi cukup mempengaruhi tercapainya swasembada kedelai khususnya dan ketahanan pangan pada umumnya. 

KEBIJAKAN TERKAIT PEMANFAATAN LAHAN SUBOPTIMAL
            Salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh pemerintah maupun intelektual adalah penanggulangan lahan yang semakin sempit. Tantangan bagi swasembada kedelai dari sisi sumber daya adalah semakin berkurangnya lahan produktif akibat konversi lahan. Padahal program swasembada membutuhkan tambahan luas lahan sekitar 500 000 hektar dan saat ini masih terealisasi sebanyak 80 000 hektar (Kementrian Pertanian 2013). Menurut Menteri Pertanian Suswono, alih fungsi lahan setiap tahunnya terjadi seluas 40 000 – 60 000 ha sehingga menambah semakin terbatasnya lahan untuk pertanian. Peningkatan suplai pangan melalui pemanfaatan lahan terdegradasi dan peningkatan produktivitas serta peningkatan produksi pada lahan suboptimal (lahan kering dan rawa) merupakan langkah awal sebagai strategi pengembangan kedelai. Program pemerintah dalam rangka pemanfaatan lahan kritis sudah terlaksana dan memiliki potensi yang besar untuk terus dikembangkan. Potensi tersebut terletak pada luasan lahan kritis yang tersedia dan teknologi budidaya kedelai.  Secara ringkas luas total lahan suboptimal yang dapat dimanfaatkan ada pada tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2  Potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan kedelai di lahan suboptimal
Jenis lahan
Potensi luas lahan sesuai (‘000 ha)
Sedang
Tinggi
Lahan kering


-          Tegalan
7325
2440
-          Lahan alang/ terlantar
1085
-
Lahan lebak dangkal
-
2167
Lahan pasang surut


-          Potensial
-
2076
-          Gambut dangkal
1329
-
Lahan sawah tadah hujan
-
1965
Jumlah
9739
6208
Sumber : Subagyo 2006
Lahan suboptimal merupakan lahan yang secara alamiah memiliki produktivitas yang relatif lebih rendah sebagai akibat cekaman faktor internal dan eksternal. Lahan yang dianggap suboptimal antara lain lahan kering masam, lahan tadah hujan, dan lahan rawa. Lahan kering masam secara alamiah memiliki produktivitas rendah karena reaksinya masam, miskin hara, kandungan zat racun terlarut tinggi. Lahan tadah hujan memiliki masalah eksternal curah hujan yang rendah dan tidak berpola sehingga tanaman sering gagal panen. Sedangkan lahan rawa memiliki masalah genangan, masam, kelarutan unsur beracun, dan kapasitas menyangga yang rendah.
            Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa semua jenis lahan memiliki potensi untuk penanaman kedelai karena sekitar 5.1 juta ha yang sesuai untuk tanaman kedelai. Sedangkan sisanya memiliki beberapa kendala yang membuat terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Namun lahan tersebut dapat diolah menjadi lahan produktif jika faktor-faktor yang menjadi permasalahan bisa dimodifikasi atau dikendalikan.

OPTIMALISASI LAHAN RAWA PASANG SURUT
            Menurut Rachman et al (2007) lahan rawa merupakan lahan yang sebagian besar waktu dalam setahun tergenang oleh air dan memiliki kelembaban tanah akuik. Lahan rawa jika diberi drainase akan menjadi tidak tergenang, namun sifat akuik tidak hilang sehingga tetap dikatakan rawa. Potensi luasan lahan rawa yaitu sekitar 33.4 juta ha yang tersebar di empat wilayah diantaranya Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Lahan rawa dibagi menjadi lahan pasang surut, lahan salin, lahan gambut, dan lahan lebak.
            Lahan rawa pasang surut terbentuk dari endapan marin dan fluviomarin yang dicirikan dengan adanya lapisan tanah yang mengandung pirit. Lapisan tanah ini menjadi dasar pengelompokan tanah menjadi lahan sulfat masam/ lahan bersulfida dangkal dan lahan bersulfida dalam. Lahan bersulfida dangkal memiliki kedalaman lapisan pirit < 50 cm sehingga tidak sesuai untuk tanaman palawija. Lahan bersulfida dalam/ lahan potensial memiliki lapisan pirit > 50 cm yang relatif aman dan sesuai untuk budidaya kedelai.
            Berdasarkan Suriadikarta dan Sutriadi (2007), terdapat pemetaan yang lebih detail, lahan rawa pasang surut dibedakan ke dalam empat tipe luapan air, yaitu : 1) tipe luapan A, lahan yang selalu terluapi air pasang, baik pasang besar maupun pasang kecil, 2) tipe luapan B, lahan yang hanya terluapi oleh pasang besar, 3) tipe luapan C, lahan yang tidak pernah terluapi walau pasang besar, hanya air tanah masih dekat permukaan tanah, < 50 cm, dan 4) tipe luapan D, lahan yang tidak terluapi, dan air tanah lebih dalam dari 50 cm dari permukaan tanah.
            Menurut Suriadikarta dan Sutriadi (2007), luas lahan pasang surut di Indonesia diperkirakan 20.10 juta ha, sekitar 20−30 % di antaranya berpotensi untuk digunakan sebagai lahan pertanian. Sampai saat ini baru sekitar 3−4 juta ha lahan rawa yang sudah direklamasi. Namun terdapat beberapa kendala di lahan pasang surut yang harus dikelola dengan teknik budidaya tertentu. Diantara kendala-kendala tersebut antara lain kemasaman yang tinggi, tingginya kandungan racun Al, kahat hara N, P, K serta drainase yang buruk. Alumunium berasal dari degradasi mineral liat yang hancur akibat kemasaman tanah yang tinggi. Walaupun kadar bahan organik cukup tinggi, N tersedia pada umumnya rendah karena proses mineralisasi bahan organik terhambat akibat tanah masam dan lembab. Unsur hara P tidak tersedia karena diikat oleh Al dan Fe membentuk senyawa komplek yang mengendap. Sedangkan ketersediaan K rendah karena mengalami pencucian setelah terdesak dari komplek jerapan. Drainase buruk karena permukaan air yang dangkal, sehingga diperlukan selalu drainase yang lebih intensif.

PENGEMBANGAN KEDELAI PADA LAHAN PASANG SURUT
            Lahan pasang surut dapat menjadi lahan produktif bagi pengembangan kedelai jika faktor-faktor yang menjadi permasalahan dikelola. Menurut Rachman et al (2007), terdapat beberapa upaya-upaya untuk mengoptimalisasi lahan pasang surut diantaranya adalah konservasi tanah, pengelolaan air, ameliorasi dan pengelolaan bahan organik, dan pengelolaan hara. Sedangkan menurut Saragih (2013), terdapat empat kunci sukses  memanfaatkan lahan pasang surut yaitu (1) Pengelolaan air; (2) Penataan lahan; (3) Pemilihan Komoditas adaptif dan prospektif dan (4) Penerapan teknologi budidaya yang sesuai.
            Konservasi tanah diperlukan untuk lahan rawa pasang surut. Tanah yang mengandung lapisan pirit harus tetap dijaga kelembabannya supaya tidak terjadi oksidasi pirit. Jika terjadi kekeringan tanah akan menjadi sangat masam dan sulit ditanami. Sehingga perlu pengelolaan air dalam rangka konservasi tanah pada lahan pasang surut. Pengelolaan air diperlukan dalam bentuk mengatur saluran drainase secara intensif. Saluran drainase berfungsi juga sebagai tempat pembuangan unsur-unsur yang bersifat racun seperti asam-asam organik, Fe, Mn, SO4. Ameliorasi dan pengelolaan bahan organik diperlukan untuk lahan pasang surut karena kedelai memerlukan kondisi tanah yang mendekati netral, pH 5.6-6.8. Ameliorasi sebagai bahan pembenah tanah dapat memperbaiki kondisi tanah yang masam sehingga perakaran dapat tumbuh. Bahan pembenah tanah yang banyak digunakan adalah kapur baik kaptan maupun dolomit. Selain itu, bahan pembenah tanah yang lain dapat menggunakan bahan organik seperti kompos atau pupuk kandang. Pemberian bahan organik dalam tanah selain menaikkan pH mendekati netral juga mampu meningkatkan ketersediaan hara.
            Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengembangan beberapa komoditas pangan salah satunya kedelai di lahan pasang surut sangat baik hasilnya. Kedelai varietas Wilis, Lokon, Galunggung, Rinjani, Lompo Batang, Kerinci, dan Dempo dapat menghasilkan 1.10−2 t biji kering/ha dengan takaran pupuk 22.50−45−50 kg/ha dan 67.50−45−50 kg/ ha (N, P2O5, dan K2O) (Alihamsyah et al. 1993; Sutrisna et al. 1994). Kajian pada lahan pasang surut Sumatera Selatan oleh P2SLPS2 menunjukkan, hasil kedelai varietas Wilis mencapai 2.20 t/ha (Ananto et al. 1999).

PENERAPAN TEKNIK BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI KEDELAI BERKELANJUTAN
            Selain dari faktor konservasi tanah, pengelolaan air, ameliorasi dan bahan organik tanah, dan  pengelolaan hara, juga dibutuhkan teknik budidaya yang spesifik lokasi dan sesuai tanaman yang akan ditanam. Hal ini dalam rangka semakin meningkatkan produktivitas lahan rawa pasang surut. Pada pengembangan kedelai di lahan rawa pasang surut sudah terdapat teknik yang sudah teruji mampu meningkatkan produktivitas tanaman kedelai dan menanggulangi efek negatif dari lahan rawa pasang surut yaitu pirit dan kandungan Al. Teknik budidaya tersebut adalah teknik budidaya jenuh air (BJA).
            Teknik budidaya jenuh air (BJA) dapat meningkatkan produksi dibandingkan cara irigasi biasa pada beberapa varietas kedelai. BJA merupakan penanaman dengan memberikan irigasi terus menerus dan membuat tinggi muka air tetap (+ 5 cm dibawah permukaan tanah), sehingga lapisan dibawah perakaran jenuh air. Air diberikan sejak berumur 15 hari sampai polong berwarna coklat. Tinggi muka air tetap akan menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman karena kedelai akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya (Troedson et al. 1983). 
Tahap aklimatisasi tanaman berlangsung selama 2 minggu atau antara 2-4 minggu setelah irigasi dimulai. Pada awal aklimatisasi akar dan bintil akar kedelai dibawah muka air mati dan selanjutnya tumbuh akar dan bintil akar diatas muka air. Kandungan N dalam daun menurun dan tanaman menjadi klorosis (Troedson et al. 1983). Hal ini disebabkan berkurangnya penyerapan nitrogen dan alokasi hasil fotosintesis kebagian bawah tanaman (keperakaran dan bintil akar). Adanya lapisan tanah + 5 cm pada budidaya jenuh air yang tidak tergenang dan air yang tetap mengalir pada saluran membuat petakan masih cukup oksigen. Pada tahap setelah aklimatisasi akan nampak banyak akar dan bintil akar yang muncul diatas muka air dan daun hijau kembali. Saat itulah pertumbuhan tanaman kedelai semakin pesat dan kandungan N juga meningkat mengalahkan budidaya biasa. Hal ini juga sudah dibuktikan dengan penelitian Ghulamahdi et al. (2009) juga membuktikan bahwa produktivitas kedelai kuning varietas Tanggamus dapat mencapai 4.63 ton ha-1 dengan teknik budidaya jenuh air (BJA).

PENUTUP
            Pengembangan kedelai dengan pemanfaatan lahan rawa pasang surut sangat berpotensi untuk dilaksanakan. Optimalisasi lahan rawa pasang surut dengan teknik budidaya jenuh air secara berkelanjutan dan serius akan mampu mempercepat tercapainya swasembada kedelai. Peningkatan produksi kedelai saja tanpa diikuti dengan pengawalan kebijakan pertanian tidak akan menjadikan negara ini mencapai ketahanan pangan. Hal ini dikarenakan, kemajuan sektor pertanian sangat bergantung pada kebijakan pemerintah, terlebih menjelang pelaksanaan Masyarakat Ekonomi Asea (MEA) 2015. Apabila kebijakan pemerintah tidak secara tegas dan segera melakukan optimalisasi lahan rawa pasang surut sehingga dihasilkan produksi kedelai yang melimpah, dikhawatirkan akan kehilangan kesempatan untuk memajukan kedelai nasional. Gambaran pelaksanaan MEA 2015 sangat jelas sarat dengan liberalisasi perdagangan. Maksudnya adalah Indonesia akan menyambut produk-produk pertanian impor secara bebas tanpa ada batasan (bahkan tarif). Kedelai nasional harus dikondisikan stabil dengan produksi yang cukup agar mampu mengimbangi produk kedelai impor yang bebas masuk, atau jika tidak maka produk kedelai semakin tenggelam tergilas oleh produk kedelai impor yang akan mengalir seperti air kran. Maka upaya ini perlu dilakukan oleh seluruh warga terutama pemerintah dan intelektual pertanian.

DAFTAR PUSTAKA
Hanani nuhfil. 2009. Ketahanan pangan dalam perspektif islam [internet]. [waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Malang (ID). [diunduh 2014 September 21]. Tersedia pada: http://nuhfil.lecture.ub.ac.id/files/2009/02/pertanian-kota-ketahanan-pangan-nuhfil-journal.doc
Rochjat Mei. 2014. Kebijakan dan strategi ketahanan pangan dalam membangun kemandirian dan kedaulatan pangan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat [komunikasi singkat]. [20 September 2014]
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang No.18 Tahun 2012 tentang Pangan. Jakarta (ID)
Jamalzen. 2013. Rapor merah produksi kedelai. [diunduh 2014 September 20]. Tersedia pada: agroindonesia.co.id _ Rapor Merah Produksi Kedelai.htm
Siadari EE. 2012. Industri kecap dan tauco konsumen kedua terbesar kedelai.JaringNews.com [Internet]. [Diunduh 2013 Maret 15]; tidak ada volume: Jakarta. Tersedia pada: http://jaringnews.com/ekonomi/umum/20359/industri-kecap-dan-tauco-konsumen-kedua-terbesar-kedelai
Adie MM, Krisnawati A. 2012. Kedelai hitam: varietas, kandungan gizi, dan prospek bahan baku industri. Seminar Badan Litbang Pertanian; 2012 Mei 22; Malang, Indonesia. Malang (ID): Balai penelitian tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian. hlm –
BPS. 2012. Perkembangan beberapa indikator utama sosial – ekonomi Indonesia. Booklet [Internet]. [Diunduh 2013 Januari 7]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/booklet/Booklet_Agustus_2012.pdf
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Rencana aksi pemantapan ketahanan pangan 2005-2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Harris dkk. 2012. Mimpi swasembada kedelai. Komoditas indonesia. Sajian utama: 4 (tahun 1 agustus 2012)
Pratama AF. 2013. INDEF: Kuota impor kedelai bulog terlalu kecil. Tribunnews [internet]. [diunduh 2014 September 22]. Tersedia pada:
Haryono. 2013. Strategi kebijakan kementrian pertanian dalam optimalisasi lahan suboptimal mendukung ketahanan pangan nasional. Di dalam: Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D, editor. Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional [internet]. [Palembang 20-21 September 2013]. Palembang (ID): UNSRI. Hlm 1-802; [diunduh 2014 September 22]. Tersedia pada: http://www.pur-plso unsri.org/dokumen/3.%20Isi%20Prosiding%281%29.pdf
Subagyo. 2006. Klasifikasi dan penyebaran lahan rawa. Di dalam: Didi Ardi et al., editor. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Rachman A et al. 2007. Perluasan areal tanaman kedelai ke lahan suboptimal. Di dalam: Sumarno et al., editor. Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangan. Balai Penelitian Tanah. Bogor (ID). Hlm 185-201
Suriadikarta DA, Sutriadi MT. 2007. Jenis-jenis lahan berpotensi untuk pengembangan pertanian di lahan rawa. Jurnal Litbang Pertanian. 26(3).
Saragih S. 2013. Empat kunci sukses pengelolaan lahan rawa pasang surut untuk usaha pertanian berkelanjutan.
Alihamsyah, T., Jeffri, I W. Suastika, dan D.E. Sianturi. 1993. Laporan Tahunan 1992/1993. Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa Swamps II. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Sutrisna, N., I W. Suastika, dan Solihin. 1994. Penelitian pengembangan sistem usaha tani di lahan pasang surut sulfat masam Karang Agung Tengah. hlm. 117−126. Dalam T. Alihamsyah dan I.G. Ismail (Ed.). Kumpulan Hasil Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Buku I. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Ananto, E.E., Hermanto, K. Kariyasa, Soentoro, I W. Suastika, I G.M. Subiksa, dan T. Alihamsyah. 1999. Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 163 hlm.
Troedson RJ, RJ Lawn, DE Byth, GL Wilson. 1983. An inovative water management option for soybean in the tropics and subtropics. In: S. Shanmugasundaram and EW Sulzberger, editors. Soybean in Tropical and Subtropical Cropping Systems. Proceedings of a Symposium Tsukuba Japan; 26 September-1 October 1983; Tsukuba, Japan. Japan (JP). Pg 171-178

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membangkitkan Paradigma Perubahan dari Benak Para Pemuda Indonesia**

Perkembangan Penelitian IPB sebagai Penjawab Permasalahan Pertanian Indonesia

jilbab dan khimar...