SWASEMBADA KEDELAI DENGAN OPTIMALISASI LAHAN PASANG SURUT
Oleh
Ainun
Istiharoh*
*Mahasiswi Pascasarjana Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanain Bogor
PENDAHULUAN
Pertanian
secara sederhana dihubungkan dengan istilah tanaman, bercocok tanam, produksi,
pengelolaan hasil panen, dan pemasaran hasil panen. Seringkali istilah tersebut
menjadi faktor penentu tercapainya ketahanan pangan suatu bangsa. Meskipun
secara arti luas pertanian meliputi juga perikanan, peternakan, dan kehutanan,
tetap saja hal tersebut tidak terlepas dari upaya yang berkaitan dengan
produksi, pengolahan, dan pemasaran. Pertanian hingga kini tetap menjadi suatu
hal yang penting karena secara filosofi berhubungan dengan hajat hidup orang
banyak. Maka tidaklah heran jika Bung Karno dalam pidatonya mengatakan bahwa
“masalah pertanian adalah soal hidup dan matinya bangsa”. Sejarah mencatat
bahwa pertanian menyumbang keberhasilan terbesar dalam kemajuan suatu bangsa.
Bagaimana kita lihat negara Romawi, Yunani, dan Persia menjadikan pertanian
sebagai penopang ekonomi negara. Bahkan peradaban islam mencapai puncak
kejayaannya diawali dari pemilihan wilayah madinah yang dipilih karena kondisi
pertaniannya yang subur. Rusia sebagai negara adidaya pada zamannya menjadi
runtuh disebabkan salah satunya disebabkan oleh ketiadaan logistik (pangan)
sebagai bekal dalam berperang. Hal ini jelas bahwa pertanian tidak bisa
disepelekan hingga ketahanan pangan menjadi kunci pembuka dari kemajuan suatu
bangsa. Faktor-faktor yang disebutkan diawal paragraf merupakan kunci yang
harus diperhatikan mengingat salah satu sub sistem dalam ketahanan pangan
adalah ketersediaan yaitu berkaitan dengan produksi dan pengolahan, juga keterjangkauan
yang berkaitan dengan proses distribusi dan harga pasar.
SWASEMBADA
MENUJU KEMANDIRIAN PANGAN
Istilah
kemandirian pangan sampai saat ini menjadi perbincangan dikalangan akademisi
maupun pemangku kebijakan. Definisi dan paradigma kemandirian
pangan seringkali dilekatkan dengan kedaulatan dan ketahanan pangan. Definisi
ini terus mengalami perkembangan sejak adanya Conference of Food and Agriculture tahun 1943 yang mencanangkan
konsep secure, adequate and suitable
supply of food for everyone (jaminan, kecukupan, dan supply yang terjangkau
dari makanan untuk semua orang) (Hanani 2009). Berdasarkan UU
No.18/2012 tentang pangan, membedakan bahwa definisi kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa
dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri, yang dapat
menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan, dengan
memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan
lokal secara bermartabat.
Sedangkan
kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan
kebijakan pangannya sendiri, menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya, memberikan
hak bagi masyarakatnya untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan
potensi sumberdaya lokal.
Ketahanan
pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau, serta tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat (ukuran kinerja), untuk hidup sehat, aktif, produktif secara
berkelanjutan (outcome). Swasembada yang ditargetkan tercapai
pada tahun 2014 ini ternyata mengalami banyak hambatan dan berdasarkan arahan baru RPJMN 2015-2019, didapati bahwa
target ini masih tetap diupayakan yaitu untuk peningkatan produksi
pangan pokok: padi, jagung, kedelai, gula, daging dan ikan. Arahan lainnya
adalah stabilisasi harga, perbaikan kualitas gizi masyarakat, pemberdayaan dan
perlindungan petani/nelayan/ pembudidaya ikan, peningkatan daya saing dan nilai
tambah komoditi pertanian dan perikanan
Berdasarkan hasil evaluasi paruh
waktu RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2010-2014 mencatat,
pencapaian target swasembada tersebut tidak signifikan atau bahkan dibawah
standar target yang ditetapkan, terlebih lagi dalam rangka pencapaian
swasembada kedelai. Misalnya saja swasembada kedelai mendapat rapor warna merah
yang berarti kebijakan sudah on the track. Itu sebabnya, Kementan
perlu melanjutkan dengan mengoptimalkan pelaksanaan program. Sedangkan untuk
pencapaian swasembada padi, jagung dan gula dengan rapor warna kuning, yang
berarti perlu upaya-upaya khusus yang efektif untuk percepatan
peningkatan kinerja program. Untuk swasembada kedelai yang mendapat
rapor merah, maka perlu upaya ekstra keras untuk mengejar pencapaian target
swasembada (agroindonesia.go.id).
Sehingga diperlukan kajian strategis dalam rangka pencapaian swasembada kedelai
menuju kemandirian produksi kedelai.
KONDISI KEDELAI NASIONAL
Kedelai menjadi komoditas penting di
Indonesia dikarenakan permintaan masyarakat terhadap tahu, tempe, kecap, dan
tauco cukup tinggi sepanjang tahun dan harga yang cukup terjangkau. Menurut
data Kementerian Perdagangan pemenuhan produksi kecap yang semakin meningkat
ditambah lagi kebutuhan produksi tauco, menuntut penyediaan kedelai hitam
sebesar 325 220 ton kedelai atau 14.7 % dari konsumsi nasional (Siadari 2012).
Selain itu, kebutuhan terhadap kedelai kuningpun juga meningkat. Peningkatan
terhadap kedelai kuning dan kedelai hitam juga dipicu karena kandungan
proteinnya yang tinggi dibandingkan kacang-kacangan lainnya. Terlebih lagi
kedelai hitam yang memiliki kandungan protein lebih tinggi daripada kedelai
kuning. Menurut Adie dan Krisnawati (2012), kedelai hitam memiliki kandungan
nutrisi dan antioksidan tinggi. Pigmen hitam pada kedelai dapat dijadikan
sebagai antosianin prima dan mengandung 6 g lemak (lemak tak jenuh ganda), 2 g
serat larut serta 5 g serat tak larut. Serat larut membantu mencegah dan
mengobati sembelit, sedangkan serat tak larut membantu menurunkan kadar
kolesterol darah dan glukosa.
Selain permasalahan impor yang
menjadi polemik hingga saat ini, ditambah lagi masalah kedelai lain yaitu
menaiknya harga kedelai pada beberapa kurun waktu terakhir. Lonjakan
harga kedelai sudah terjadi sejak 1998, tahun 2008, dan tahun 2012 hingga
sekarang. Awal September 2013, harga kedelai kembali mencapai
rekor tinggi dengan harga Rp 9 500 bahkan di beberapa daerah ada yang menembus
Rp 10 000 per kilogram. Permasalahan ini menambah semakin sulit tercapainya
swasembada kedelai.
ANALISIS DAN SOLUSI MASALAH
Pencapaian
swasembada kedelai bukan tidak mungkin tercapai, hanya saja perlu untuk melihat
kondisi secara umum perkembangan kedelai nasional. Perkembangan kedelai
nasional secara garis besar terkendala dengan dua isu besar yaitu impor kedelai
dan terjadinya fluktuasi harga. Permasalahan impor kedelai dan naiknya harga
kedelai bukan semata permasalahan produksi. Maksudnya adalah, permasalahan
produksi seringkali dijadikan sebagai penyebab terjadinya impor kedelai dan
naiknya harga kedelai nasional. Premis pertama menyatakan bahwa akibat dari
kurangnya produksi dan meningkatnya kebutuhan kedelai menyebabkan diambilnya
kebijakan impor. Sedangkan premis kedua terkait naiknya harga kedelai beberapa
tahun terakhir ini seringkali diakibatkan karena tingkat permintaan meningkat
dan penawaran menurun yang juga diakibatkan karena produksi yang berkurang.
Kedua masalah tersebut sejatinya
tidak hanya diakibatkan oleh menurunnya produksi, namun lebih dari itu. Masalah
menurunnya produksi juga diakibatkan karena lahan yang digunakan untuk pertanian semakin sempit karena terjadinya
konversi lahan dan pengurangan subsidi
pertanian. Akibat pengurangan subsidi, berbagai fasilitas
dan dukungan kepada petani semakin kecil dan biaya produksi terus naik. Selain
itu teknologi dan teknik budidaya tidak mengalami kemajuan sehingga
produktivitas tidak naik. Pada saat yang sama, kran impor terbuka lebar pasca
diberlakukannya CAFTA, sehingga kedelai impor pun membanjiri pasar dalam
negeri. Menanam kedelai tidak lagi menarik dan menguntungkan bagi petani. Akibatnya
produksi kedelai turun drastis. Pada saat swasembada tahun 1992, produksi
kedelai mencapai 1.87 juta ton dari luas lahan sekitar 1.8 juta hektar. Jumlah
itu terus menyusut dan kini hanya sekitar 600 ribu hektar dengan produksi
700-800 ribu ton. Sementara, kebutuhan kedelai nasional diperkirakan mencapai
2.5 juta ton. Kurangnya, sekitar 1.8 juta ton dipenuhi dari impor dengan nilai
Rp 4.4 triliun (Badan Litbang Pertanian 2005)
Lonjakan harga kedelai pun saat ini bukan
hanya karena kurangnya pasokan dan bukan
juga karena kenaikan harga internasional. Menurut direktur INDEF Enny Sri
Hartati (10/9), data FAO dan Departemen Perdagangan Amerika Serikat menunjukkan
tren harga kedelai justru menurun
(komoditas indonesia 2012). Pada Juli 2013 harga USD 577 per ton, dan memasuki
Agustus, harga menjadi USD 523 per ton. Melemahnya
nilai rupiah, juga tidak begitu berpengaruh. Meskipun rupiah melemah
terhadap dolar, harga kedelai dalam dolar di pasar internasional juga turun.
Lonjakan harga juga bukan karena permintaan dalam negeri melonjak. Lonjakan
harga itu diduga kuat karena permainan kartel, masuknya pasokan lambat akibat
kebijakan yang terlambat, dan kegagalan kebijakan mengelola stok.
Keterlambatan
pasokan di antaranya karena terlambatnya penerbitan Surat Persetujuan Impor
(SPI). Menurut KPPU, merujuk pada keterangan Dewan Kedelai Nasional, proses
penerbitan SPI untuk kedelai dianggap terlambat. Importir sudah terdaftar sejak
31 Juli, namun proses pemberian SPI baru 31 Agustus.
Permainan
kartel dimungkinkan karena impor kedelai dikuasai oleh hanya segelintir
perusahaan. INDEF menemukan fakta, dari data SPI yang diterbitkan 28-30 Agustus
lalu, tiga perusahaan importir menguasai 66.3 persen kuota impor kedelai dari
Amerika Serikat. Secara total, importir mengajukan 886 200 ton. Namun yang
disetujui hanya 450 900 ton. Memang ada 14 perusahaan yang
mendapat SPI, tapi satu perusahaan dapat kuota besar sekali, dan yang lain
kuotanya kecil-kecil. Tiga perusahaan yang menguasai tata niaga kedelai: PT FKS
Multi Agro dapat kuota 210 600 ton atau 46.7 %; PT Gerbang Cahaya Utama 46 500
ton atau 10.3 % dan PT Budi Semesta Satria 42 000 ton atau 9.3 %. Total
ketiganya 299 100 ton atau 66 33 %. Tiga perusahaan mendapat kuota 4-5 persen
dan delapan perusahaan lainnya berkisar 2 – 0.6 %. Sementara kuota Bulog hanya
20 ribu ton atau 4.4 % (Tribunnews 2013). Sementara
data Koran Kota importir kedelai yang terdaftar di Kementerian Perdagangan
berjumlah 71 importir. Namun anehnya, hanya PT Cargill Indonesia, PT Gerbang
Cahaya Utama, PT Sekawan Makmur Bersama, PT Teluk Intan, PT Cibadak, PT Sungai
Budi, PT Alam Agri Perkasa dan PT Gunung Sewu yang secara riil diduga menjadi
penentu pasokan dan harga kedelai di pasar. Hal ini
dimungkinkan para importir menahan pasokan agar untung besar. Sebab lonjakan
harga ini bukan karena stoknya tidak ada. Menteri Perdagangan mengatakan, untuk
mengatasi lonjakan harga, telah disiapkan stok di luar Bulog 315 ribu ton.
Artinya, stok itu selama ini memang ada, tetapi tidak dikeluarkan. Sehingga
kebijakan pemerintah diharapkan tegas kepada para importir tersebut.
Permasalahan yang melanda kedelai nasional ini
secara garis besar tidak hanya karena lemahnya produksi namun faktor diluar
produksi cukup mempengaruhi tercapainya swasembada kedelai khususnya dan
ketahanan pangan pada umumnya.
KEBIJAKAN TERKAIT PEMANFAATAN LAHAN SUBOPTIMAL
Salah satu upaya yang bisa dilakukan
oleh pemerintah maupun intelektual adalah penanggulangan lahan yang semakin
sempit. Tantangan bagi swasembada kedelai dari sisi sumber daya adalah semakin
berkurangnya lahan produktif akibat konversi lahan. Padahal program swasembada membutuhkan tambahan
luas lahan sekitar 500 000 hektar dan saat ini masih terealisasi sebanyak 80
000 hektar (Kementrian Pertanian 2013). Menurut Menteri Pertanian Suswono, alih fungsi lahan setiap tahunnya
terjadi seluas 40 000 – 60 000 ha sehingga menambah semakin terbatasnya lahan
untuk pertanian. Peningkatan suplai pangan melalui
pemanfaatan lahan terdegradasi dan peningkatan produktivitas serta peningkatan produksi
pada lahan suboptimal (lahan kering dan rawa) merupakan langkah awal sebagai
strategi pengembangan kedelai. Program pemerintah dalam rangka pemanfaatan
lahan kritis sudah terlaksana dan memiliki potensi yang besar untuk terus
dikembangkan. Potensi tersebut terletak pada luasan lahan kritis yang tersedia
dan teknologi budidaya kedelai. Secara
ringkas luas total lahan suboptimal yang dapat dimanfaatkan ada pada tabel 2
dibawah ini.
Tabel 2 Potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan
kedelai di lahan suboptimal
Jenis lahan
|
Potensi luas lahan sesuai (‘000
ha)
|
|
Sedang
|
Tinggi
|
|
Lahan
kering
|
|
|
-
Tegalan
|
7325
|
2440
|
-
Lahan
alang/ terlantar
|
1085
|
-
|
Lahan
lebak dangkal
|
-
|
2167
|
Lahan
pasang surut
|
|
|
-
Potensial
|
-
|
2076
|
-
Gambut
dangkal
|
1329
|
-
|
Lahan
sawah tadah hujan
|
-
|
1965
|
Jumlah
|
9739
|
6208
|
Sumber : Subagyo 2006
Lahan suboptimal merupakan lahan yang secara alamiah
memiliki produktivitas yang relatif lebih rendah sebagai akibat cekaman faktor
internal dan eksternal. Lahan yang dianggap suboptimal antara lain lahan kering
masam, lahan tadah hujan, dan lahan rawa. Lahan kering masam secara alamiah
memiliki produktivitas rendah karena reaksinya masam, miskin hara, kandungan
zat racun terlarut tinggi. Lahan tadah hujan memiliki masalah eksternal curah
hujan yang rendah dan tidak berpola sehingga tanaman sering gagal panen.
Sedangkan lahan rawa memiliki masalah genangan, masam, kelarutan unsur beracun,
dan kapasitas menyangga yang rendah.
Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat
bahwa semua jenis lahan memiliki potensi untuk penanaman kedelai karena sekitar
5.1 juta ha yang sesuai untuk tanaman kedelai. Sedangkan sisanya memiliki
beberapa kendala yang membuat terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Namun lahan tersebut dapat diolah menjadi lahan produktif jika
faktor-faktor yang menjadi permasalahan bisa dimodifikasi atau dikendalikan.
OPTIMALISASI LAHAN RAWA PASANG SURUT
Menurut Rachman et al (2007) lahan rawa merupakan lahan yang sebagian besar waktu
dalam setahun tergenang oleh air dan memiliki kelembaban tanah akuik. Lahan
rawa jika diberi drainase akan menjadi tidak tergenang, namun sifat akuik tidak
hilang sehingga tetap dikatakan rawa. Potensi luasan lahan rawa yaitu sekitar
33.4 juta ha yang tersebar di empat wilayah diantaranya Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, dan Papua. Lahan rawa dibagi menjadi lahan pasang surut, lahan salin,
lahan gambut, dan lahan lebak.
Lahan rawa pasang surut terbentuk
dari endapan marin dan fluviomarin yang dicirikan dengan adanya lapisan tanah
yang mengandung pirit. Lapisan tanah ini menjadi dasar pengelompokan tanah
menjadi lahan sulfat masam/ lahan bersulfida dangkal dan lahan bersulfida
dalam. Lahan bersulfida dangkal memiliki kedalaman lapisan pirit < 50 cm
sehingga tidak sesuai untuk tanaman palawija. Lahan bersulfida dalam/ lahan
potensial memiliki lapisan pirit > 50 cm yang relatif aman dan sesuai untuk
budidaya kedelai.
Berdasarkan
Suriadikarta dan Sutriadi (2007), terdapat pemetaan
yang lebih detail, lahan rawa pasang surut dibedakan ke dalam empat tipe luapan
air, yaitu : 1) tipe luapan A, lahan yang selalu terluapi air pasang, baik
pasang besar maupun pasang kecil, 2) tipe luapan B, lahan yang hanya terluapi
oleh pasang besar, 3) tipe luapan C, lahan yang tidak pernah terluapi walau
pasang besar, hanya air tanah masih dekat permukaan tanah, < 50 cm, dan 4) tipe
luapan D, lahan yang tidak terluapi, dan air tanah lebih dalam dari 50 cm dari permukaan
tanah.
Menurut
Suriadikarta dan Sutriadi (2007), luas
lahan pasang surut di Indonesia diperkirakan 20.10 juta ha, sekitar 20−30 % di
antaranya berpotensi untuk digunakan sebagai lahan pertanian. Sampai saat ini
baru sekitar 3−4 juta ha lahan rawa yang sudah direklamasi. Namun terdapat
beberapa kendala di lahan pasang surut yang harus dikelola dengan teknik
budidaya tertentu. Diantara kendala-kendala tersebut antara lain kemasaman yang
tinggi, tingginya kandungan racun Al, kahat hara N, P, K serta drainase yang
buruk. Alumunium berasal dari degradasi mineral liat yang hancur akibat
kemasaman tanah yang tinggi. Walaupun kadar bahan organik cukup tinggi, N
tersedia pada umumnya rendah karena proses mineralisasi bahan organik terhambat
akibat tanah masam dan lembab. Unsur hara P tidak tersedia karena diikat oleh
Al dan Fe membentuk senyawa komplek yang mengendap. Sedangkan ketersediaan K
rendah karena mengalami pencucian setelah terdesak dari komplek jerapan.
Drainase buruk karena permukaan air yang dangkal, sehingga diperlukan selalu
drainase yang lebih intensif.
PENGEMBANGAN KEDELAI
PADA LAHAN PASANG SURUT
Lahan
pasang surut dapat menjadi lahan produktif bagi pengembangan kedelai jika
faktor-faktor yang menjadi permasalahan dikelola. Menurut Rachman et al (2007), terdapat beberapa
upaya-upaya untuk mengoptimalisasi lahan pasang surut diantaranya adalah konservasi
tanah, pengelolaan air, ameliorasi dan pengelolaan bahan organik, dan pengelolaan
hara. Sedangkan menurut Saragih (2013), terdapat empat kunci sukses memanfaatkan lahan pasang surut yaitu (1)
Pengelolaan air; (2) Penataan lahan; (3) Pemilihan Komoditas adaptif dan
prospektif dan (4) Penerapan teknologi budidaya yang sesuai.
Konservasi tanah diperlukan untuk
lahan rawa pasang surut. Tanah yang mengandung lapisan pirit harus tetap dijaga
kelembabannya supaya tidak terjadi oksidasi pirit. Jika terjadi kekeringan
tanah akan menjadi sangat masam dan sulit ditanami. Sehingga perlu pengelolaan
air dalam rangka konservasi tanah pada lahan pasang surut. Pengelolaan air
diperlukan dalam bentuk mengatur saluran drainase secara intensif. Saluran
drainase berfungsi juga sebagai tempat pembuangan unsur-unsur yang bersifat
racun seperti asam-asam organik, Fe, Mn, SO4. Ameliorasi dan pengelolaan bahan organik diperlukan untuk lahan
pasang surut karena kedelai memerlukan kondisi tanah yang mendekati netral, pH 5.6-6.8.
Ameliorasi sebagai bahan pembenah tanah dapat memperbaiki kondisi tanah yang
masam sehingga perakaran dapat tumbuh. Bahan pembenah tanah yang banyak
digunakan adalah kapur baik kaptan maupun dolomit. Selain itu, bahan pembenah
tanah yang lain dapat menggunakan bahan organik seperti kompos atau pupuk
kandang. Pemberian bahan organik dalam tanah selain menaikkan pH mendekati
netral juga mampu meningkatkan ketersediaan hara.
Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pengembangan beberapa komoditas pangan salah
satunya kedelai di lahan pasang surut sangat baik hasilnya. Kedelai varietas
Wilis, Lokon, Galunggung, Rinjani, Lompo Batang, Kerinci, dan Dempo dapat
menghasilkan 1.10−2 t biji kering/ha dengan takaran pupuk 22.50−45−50 kg/ha dan
67.50−45−50 kg/ ha (N, P2O5, dan K2O) (Alihamsyah et al. 1993; Sutrisna et
al. 1994). Kajian pada lahan pasang surut Sumatera Selatan oleh P2SLPS2
menunjukkan, hasil kedelai varietas Wilis mencapai 2.20 t/ha (Ananto et al. 1999).
PENERAPAN TEKNIK
BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI KEDELAI BERKELANJUTAN
Selain dari faktor konservasi tanah,
pengelolaan air, ameliorasi dan bahan organik tanah, dan pengelolaan hara, juga dibutuhkan teknik
budidaya yang spesifik lokasi dan sesuai tanaman yang akan ditanam. Hal ini
dalam rangka semakin meningkatkan produktivitas lahan rawa pasang surut. Pada
pengembangan kedelai di lahan rawa pasang surut sudah terdapat teknik yang
sudah teruji mampu meningkatkan produktivitas tanaman kedelai dan menanggulangi
efek negatif dari lahan rawa pasang surut yaitu pirit dan kandungan Al. Teknik budidaya
tersebut adalah teknik budidaya jenuh air (BJA).
Teknik budidaya jenuh air (BJA)
dapat meningkatkan produksi dibandingkan cara irigasi biasa pada beberapa
varietas kedelai. BJA merupakan penanaman dengan memberikan irigasi terus
menerus dan membuat tinggi muka air tetap (+ 5 cm dibawah permukaan
tanah), sehingga lapisan dibawah perakaran jenuh air. Air diberikan sejak
berumur 15 hari sampai polong berwarna coklat. Tinggi muka air tetap akan
menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman
karena kedelai akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki
pertumbuhannya (Troedson et al. 1983).
Tahap aklimatisasi tanaman
berlangsung selama 2 minggu atau antara 2-4 minggu setelah irigasi dimulai.
Pada awal aklimatisasi akar dan bintil akar kedelai dibawah muka air mati dan
selanjutnya tumbuh akar dan bintil akar diatas muka air. Kandungan N dalam daun
menurun dan tanaman menjadi klorosis (Troedson et al. 1983). Hal ini disebabkan berkurangnya penyerapan nitrogen
dan alokasi hasil fotosintesis kebagian bawah tanaman (keperakaran dan bintil
akar). Adanya lapisan tanah + 5 cm pada budidaya jenuh air yang tidak
tergenang dan air yang tetap mengalir pada saluran membuat petakan masih cukup
oksigen. Pada tahap setelah aklimatisasi akan nampak banyak akar dan bintil
akar yang muncul diatas muka air dan daun hijau kembali. Saat itulah
pertumbuhan tanaman kedelai semakin pesat dan kandungan N juga meningkat mengalahkan
budidaya biasa. Hal ini juga sudah dibuktikan dengan penelitian
Ghulamahdi et al. (2009) juga membuktikan bahwa produktivitas kedelai
kuning varietas Tanggamus dapat mencapai 4.63 ton ha-1 dengan teknik budidaya
jenuh air (BJA).
PENUTUP
Pengembangan
kedelai dengan pemanfaatan lahan rawa pasang surut sangat berpotensi untuk
dilaksanakan. Optimalisasi lahan rawa pasang surut dengan teknik budidaya jenuh
air secara berkelanjutan dan serius akan mampu mempercepat tercapainya
swasembada kedelai. Peningkatan produksi kedelai saja tanpa diikuti dengan
pengawalan kebijakan pertanian tidak akan menjadikan negara ini mencapai
ketahanan pangan. Hal ini dikarenakan, kemajuan sektor pertanian sangat
bergantung pada kebijakan pemerintah, terlebih menjelang pelaksanaan Masyarakat
Ekonomi Asea (MEA) 2015. Apabila kebijakan pemerintah tidak secara tegas dan
segera melakukan optimalisasi lahan rawa pasang surut sehingga dihasilkan
produksi kedelai yang melimpah, dikhawatirkan akan kehilangan kesempatan untuk memajukan
kedelai nasional. Gambaran pelaksanaan MEA 2015 sangat jelas sarat dengan
liberalisasi perdagangan. Maksudnya adalah Indonesia akan menyambut
produk-produk pertanian impor secara bebas tanpa ada batasan (bahkan tarif).
Kedelai nasional harus dikondisikan stabil dengan produksi yang cukup agar
mampu mengimbangi produk kedelai impor yang bebas masuk, atau jika tidak maka
produk kedelai semakin tenggelam tergilas oleh produk kedelai impor yang akan
mengalir seperti air kran. Maka upaya ini perlu dilakukan oleh seluruh warga
terutama pemerintah dan intelektual pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Hanani nuhfil. 2009. Ketahanan pangan
dalam perspektif islam [internet]. [waktu dan tempat pertemuan tidak
diketahui]. Malang (ID). [diunduh 2014 September 21]. Tersedia pada: http://nuhfil.lecture.ub.ac.id/files/2009/02/pertanian-kota-ketahanan-pangan-nuhfil-journal.doc
Rochjat
Mei. 2014. Kebijakan dan strategi ketahanan pangan dalam membangun kemandirian
dan kedaulatan pangan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat [komunikasi
singkat]. [20 September 2014]
Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang No.18 Tahun 2012 tentang Pangan. Jakarta (ID)
Jamalzen.
2013. Rapor merah produksi kedelai. [diunduh 2014 September 20]. Tersedia pada:
agroindonesia.co.id _ Rapor Merah Produksi Kedelai.htm
Siadari
EE. 2012. Industri kecap dan tauco konsumen kedua terbesar
kedelai.JaringNews.com [Internet]. [Diunduh 2013 Maret 15]; tidak ada volume:
Jakarta. Tersedia pada: http://jaringnews.com/ekonomi/umum/20359/industri-kecap-dan-tauco-konsumen-kedua-terbesar-kedelai
Adie
MM, Krisnawati A. 2012. Kedelai hitam: varietas, kandungan gizi, dan prospek
bahan baku industri. Seminar Badan Litbang Pertanian; 2012 Mei 22;
Malang, Indonesia. Malang (ID): Balai penelitian tanaman kacang-kacangan dan
umbi-umbian. hlm –
BPS. 2012. Perkembangan beberapa indikator utama sosial –
ekonomi Indonesia. Booklet [Internet]. [Diunduh 2013 Januari 7]. Tersedia pada:
http://www.bps.go.id/booklet/Booklet_Agustus_2012.pdf
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Rencana
aksi pemantapan ketahanan pangan 2005-2010. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian.
Harris dkk. 2012. Mimpi swasembada kedelai. Komoditas indonesia. Sajian utama: 4
(tahun 1 agustus 2012)
Pratama AF.
2013. INDEF: Kuota impor kedelai bulog terlalu kecil. Tribunnews [internet]. [diunduh 2014 September 22]. Tersedia pada:
Haryono. 2013. Strategi kebijakan kementrian
pertanian dalam optimalisasi lahan suboptimal mendukung ketahanan pangan
nasional. Di dalam: Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi,
Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D, editor. Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung
Kemandirian Pangan Nasional [internet]. [Palembang 20-21 September 2013].
Palembang (ID): UNSRI. Hlm 1-802; [diunduh 2014 September 22]. Tersedia pada: http://www.pur-plso
unsri.org/dokumen/3.%20Isi%20Prosiding%281%29.pdf
Subagyo. 2006. Klasifikasi dan penyebaran lahan rawa. Di dalam: Didi Ardi et al., editor. Karakteristik dan
Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Lahan Pertanian.
Rachman A et al. 2007. Perluasan
areal tanaman kedelai ke lahan suboptimal. Di dalam: Sumarno et al., editor. Kedelai Teknik Produksi
dan Pengembangan. Balai Penelitian Tanah. Bogor (ID). Hlm 185-201
Suriadikarta DA, Sutriadi MT. 2007. Jenis-jenis lahan berpotensi untuk pengembangan
pertanian di lahan rawa. Jurnal Litbang
Pertanian. 26(3).
Saragih S.
2013. Empat kunci sukses pengelolaan lahan rawa pasang surut untuk usaha
pertanian berkelanjutan.
Alihamsyah, T., Jeffri, I W. Suastika, dan D.E. Sianturi. 1993.
Laporan Tahunan 1992/1993. Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan
Rawa Swamps II. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Sutrisna, N., I W. Suastika, dan Solihin. 1994. Penelitian
pengembangan sistem usaha tani di lahan pasang surut sulfat masam Karang Agung
Tengah. hlm. 117−126. Dalam T. Alihamsyah dan I.G. Ismail (Ed.).
Kumpulan Hasil Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Buku I. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Ananto, E.E., Hermanto, K. Kariyasa, Soentoro, I W. Suastika, I
G.M. Subiksa, dan T. Alihamsyah. 1999. Pengembangan Sistem Usaha Pertanian
Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Jakarta. 163 hlm.
Troedson
RJ, RJ Lawn, DE Byth, GL Wilson. 1983. An inovative water management option for
soybean in the tropics and subtropics. In: S. Shanmugasundaram and EW
Sulzberger, editors. Soybean in Tropical and Subtropical Cropping Systems.
Proceedings of a Symposium Tsukuba Japan; 26 September-1 October 1983; Tsukuba,
Japan. Japan (JP). Pg 171-178
Komentar
Posting Komentar