buat kamu2 dari saya...
LET’S BUILD A RIGHT MOVEMENT, TOWARDS THE BETTER INDONESIA
Pragmatisme Pergerakan Mahasiswa Pasca Reformasi
Oleh : Ainun Istiharoh*
PENDAHULUAN
Kehidupan manusia tidak terlepas dari misi hidup. Misi mengandung berbagai cara untuk meraih impian seseorang yang dianggapnya suatu hal yang penting dan mampu memberikan kepuasan dalam diri manusia. Salah satu jalan keluar dari misi sebagian besar orang adalah meraih pendidikan setinggi-tingginya. Di Indonesia, Pendidikan dipandang penting bukan hanya bagi kaum laki-laki yang pada zaman penjajahan Belanda boleh mengenyam pendidikan, tapi juga para perempuan-yang tidak ingin kalah untuk meraih impiannya melalui pendidikan_hal ini muncul terlebih pasca perjuangan Kartini di pribumi.
Terlepas dari misi apa yang diemban manusia, jelas bahwa munculnya misi ini adalah fitrah manusia. Berdasarkan rentang umur manusia, rata-rata misi manusia untuk meraih impian hidupnya dilakukan pada saat usianya masih muda, yaitu pada rentang umur antara 17 th – 30 th, yakni pada saat mengenyam pendidikan SMA dan perguruan tinggi atau pada saat bekerja. Hal ini dikarenakan, masa muda merupakan kesempatan emas untuk melakukan apapun, didukung dengan kondisi fisik yang prima, kondisi mental yang bagus, kekuatan tekad yang membara, dan kegigihan dalam berupaya. Para pemuda memiliki potensi luar biasa yang bukan hanya mampu mereduksi segala bentuk keburukan bahkan juga mampu mendatangkan keburukan_tergantung pada bagaimana pemuda memandang tentang kehidupan. Para pemuda khususnya yang sedang duduk di bangku perguruan tinggi (kehidupan kampus,red), jelas berbeda misinya dengan para pemuda yang sedang bekerja. Dilihat dari gelar yang dimiliki, para pemuda di perguruan tinggi ini disebut sebagai MAHA-SISWA.
Mahasiswa adalah icon intelektual, insan cendikia, yang memiliki akses pendidikan pada jenjang tertinggi di negeri ini, maka sewajarnya jika kemudian mahasiswa memiliki taraf berpikir yang relative jauh lebih tinggi dibandingkan dengan level masyarakat lain yang tidak mampu mengakses pendidikan serupa. Dengan ketinggian berpikirnya dia memiliki tingkat kepekaan yang juga tinggi terhadap lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu tidak heran jika dari masa ke masa begitu banyak kita jumpai upaya-upaya mahasiswa untuk meraih misinya. Ketika impian seorang mahasiswa sudah bergelayut pada rasa keprihatinan lingkungan sekitarnya_karena mahasiswa memiliki akses yang memadai untuk mengindera ketidaksesuaian-ketidaksesuaian yang terjadi baik di lingkungan akademiknya sekaligus apa-apa yang terjadi dalam lingkungan bangsa dan negaranya, mereka tidak segan-segan melakukan misi real untuk meraih impiannya yaitu perubahan. Hal inilah yang biasa dilakukan oleh para mahasiswa dari masa ke masa, yakni sebuah PERGERAKAN. Inilah Sejarah perkembangan Pergerakan Mahasiswa di Indonesia yang selalu menarik karena tidak dapat dilepaskan dengan sejarah perkembangan negara Indonesia. Bahkan, keberadaan pergerakan mahasiswa selalu berpengaruh pada situasi politik nasional.
ROMANTISME SEJARAH PARA “PEMBAHARU” PENDAHULU
Berbicara seputar mahasiswa, memang sangat menarik. Kehidupan mahasiswa dengan segudang aktivitas dan dinamika pergerakan serta atmosfir yang kondusif tidak ubahnya seperti sarang yang mendukung terbentuknya para politisi. Sejarah membuktikan, beberapa tahun kebelakang kita mengenal berbagai gerakan kemahsiswaan dengan segala momentum sejarah di tanah air. Gerakan Mahasiswa Tahun 1966, gerakan ini merupakan awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, dengan mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten Negara, gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis sehingga lahirlah SUPERSEMAR (surat perintah sebelas maret) yang menandai berakhirnya rezim ORLA (orde lama).
Seymour M Lipset mencatat dalam bukunya “student and politics in comparative perspective” (1987) menggambarkan keberhasilan gerakan mahasiswa Indonesia tahun 1966 dalam menggulingkan Soekarno, sejajar dengan kesuksesan mahasiswa Argentina menggulingkan Juan Peron (1955) dan juga mahasiswa Venezuela yang menumbangkan Presiden Peres Jimenes (1958). Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki peran penting dan strategis dalam mengawal perubahan bangsanya.
Peran mahasiswa dalam mengawal perpolitikan nasional terasa sangat kental mewarnai pemerintahan rezim Orde Baru. Pada saat itu Jakarta masih menjadi barometer pergerakan mahasiswa nasional, berbagai aksi digelar, mereka terus maju menerjang meskipun sanksi DO (Drop Out) dari kampus menghadang, seperti yang dialami oleh Jumhur Hidayat yang terkena sanksi DO (Droup Out) oleh pihak ITB pada peristiwa pelemparan terhadap Mendagri ketika berkunjung ke ITB. Tidak hanya status kemahasiswaan yang berani mereka gadaikan, nyawa pun rela mereka korbankan. Hal inilah yang menimpa Arif Rahman Hakim dalam peristiwa MALARI (Malapetaka Lima Belas Januari), 4 mahasiswa pada peristiwa Trisakti, dan beberapa mahasiswa lain pada peristiwa Semanggi 1 dan 2.
Selain angkatan gerakan mahasiswa pada tahun 1908 (gerakan pemuda pertama-Boedi oetomo), 1928 (sumpah pemuda yang menyulut keinginan untuk merdeka), 1945 (mahasiswa memaksa soekarno untuk membaca teks proklamasi), 1966 (perubahan dari orde lama ke orde baru), ada satu angkatan lagi yang sangat mutakhir yakni angkatan 1998. Pada angkatan ini gerakan mahasiswa telah menjadi faktor yang sangat menentukan dalam perubahan kekuasaan dari rejim Orde Baru Soeharto ke rejim yang konon katanya “reformasi”. Ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR di senayan pada bulan Mei 1998 telah membuat anggota dewan tidak dapat bekerja secara efektif. Sehingga tidak ada pilihan lain bagi anggota dewan untuk memenuhi tuntuan mahasiswa melengserkan Soeharto yang sebelumnya telah berkuasa selama 32 tahun. Dari perjalanan gerakan mahasiswa dari masa ke masa ada persamaan karakter yang dimiliki oleh para aktivisnya. Mereka memegang teguh idealismenya sebagai Motor penggerak Pembaharuan dan pihak yang memiliki Kepedulian dan Keberpihakan terhadap rakyat. Hal inilah yang membuat gerakan mahasiswa tidak gentar meskipun sudah berkali-kali “diberangus” oleh penguasa di setiap jamannya, bahkan gerakan mahasiswa selalu muncul dengan sikap kritis dan tuntutan untuk memperbaiki keadaan politik nasional.
Sejak awal, terutama pada saat sebelum terjadinya reformasi tahun 1997 sudah ada upaya2 untuk meredam pergerakan mahasiswa. Pemerintah rejim Orde Baru telah melarang mahasiswa terjun ke gerakan politik karena hal tersebut bukan karakter mahasiswa. Menurut pemerintah Orde Baru, mahasiswa harus belajar dan menunjukkan prestasi di kampusnya. Sehingga tak ayal banyak sekali kebijakan2 yang diturunkan, seperti penghapusan lembaga kemahasiswaan, adanya sistem kredit semester (SKS), dan lain sebagainya. Meskipun demikian, para mahasiswa masih bisa untuk melancarkan aksinya dengan membentuk kelompok2 diskusi, aktif dalam penulisan isu2 nasional dalam pers mahasiswa, hingga dibentuknya Badan koordinasi mahasiswa yang mengusut isu2 kebijakan yang kontra rakyat. Sampai sekarang upaya2 untuk meniadakan “keliaran” tindakan mahasiswa ini terus dilakukan.
Selain itu, gerakan mahasiswa mulai bersatu dengan rakyat/ non mahasswa untuk melakukan aksi perbaikan sistem ekonomi yang pada saat itu mulai terjadi krisis moneter. Lembaga2 baru mulai terbentuk seperti forkot dan lembaga ekstra kampus juga turut andil dalam aksi kejalanan. Di sisi lain, Lembaga2 yang dulunya bersatu padu kini mengalami perpecahan pasca upaya pemberangusan yang dilakukan pemerintah secara terus-menerus. Perpecahan tersebut menjadikan lembaga yang satu idealisme tersebut terpecah dua yaitu gerakan moral dan gerakan politik.
MANDULNYA LEMBAGA MAHASISWA DALAM MELAHIRKAN GERAKAN PERUBAHAN
Pasca reformasi, pergerakan mahasiswa semakin menenggelamkan taringnya. Meskipun organisasi2 di beberapa universitas masih aktif bercokol, namun pengaruhnya sudah tidak terasa lagi dalam mengawali suatu perubahan. Tahun demi tahun, masalah bangsa dan rakyat semakin banyak, sedangkan para pejuangnya tidak bernafsu untuk mereduksi semuanya. Tidak heran jika banyak yang mengatakan bahwa lembaga kemahasiswaan kini giginya sudah tanggal, gerakan mahasiswa mulai ompong. Kenapa tidak??? Coba kita perhatikan, apa sebetulnya yang dilakukan paramahasiswa didalam lembaganya…
Dari tahun ke tahun, kegiatan rutin yang dilakukan oleh kelembagaan adalah diawali dengan open recruitment anggota, pembentukan struktur kepengurusan, perumusan program kerja, pembagian dana semaksimal mungkin, melakukan sistem perapihan administrasi, pelaksanaan kegiatan dengan sebaik mungkin sesuai tujuan, manfaat, dan sasaran, dan diakhiri dengan evaluasi kinerja kelembagaan. Selama setahun lembaga kemahasiswaan hanya berkutat dengan aktivitas teknis yang tidak lain bertujuan meningkatkan eksistensi lembaganya dimata mahasiswa lainnya dan dimata institusi, atau hanya sekedar melaksanakan Standart Operasional Procedure (SOP) dan memenuhi administrasi.
Dilihat dari segi hasil open recruitment yang dilakukan hampir oleh seluruh lembaga kemahasiswaan, contoh kasus di IPB, menunjukkan bahwa jumlah calon anggota dalam PEMILIHAN RAYA (PEMIRA) mengalami fluktuatif. Lembaga kemahasiswaan seperti DPM, BEM, UKM, HIMPRO mengalami hal yang sama. Akhirnya, begitu banyak cara dilakukan untuk menarik minat para mahasiswa untuk ikut serta dalam PEMIRA, tapi tetap saja hasilnya tidak memuaskan. Lembaga kemahasiswaan (LK) DPM KM IPB misalnya, periode 2009/2010 anggota total berjumlah 28 orang, periode 2010-2011 berjumlah 33 orang, periode 2011-2012 berjumlah 19 orang. Padahal keberadaan lembaga kemahasiswaan tersebut berguna sebagai wadah untuk mempertahankan idealismenya sebagai motor penggerak pembaharuan. Dari sini dapat dilihat bahwa bargaining position LK di IPB menurun. hal ini menunjukkan bahwa kelembagaan kemahasiswaan yang berada di kampus2 sudah tidak lagi menjadi suatu lembaga yang dibanggakan oleh mahasiswa lainnya. Hal ini berbeda dengan kondisi pra reformasi dimana lembaga kemahasiswaan yang berisi para politisi muda dijadikan sebagai garda terdepan dalam perubahan kondisi yang buruk
Dilihat dari perumusan program kerja, sudah jelas tidak terlepas dari misi pergerakan dan fungsi lembaga yang utamanya sudah tercantum dalam Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) dan Garis Besar Haluan Kerja (GBHK). Namun jika dilihat beberapa tahun terakhir ini, kegiatan yang dilakukan oleh beberapa lembaga seperti BEM, UKM, HIMPRO terkesan terkejar oleh timeline program yang sudah disusun tanpa melihat kondisi rakyat diluar kampus yang sampai sekarang dililit oleh banyak masalah akibat kebijakan pemerintah. Hal ini dibuktikan bahwa kegiatan yang marak dikampus adalah kegiatan/aksi2 yang bersifat sosial, seperti kepemimpinan, entrepreneurship, peningkatan akademik, dan peningkatan kreativitas baik dalam bidang seni maupun karya yang lain. Meskipun ada program advokasi yang dilakukan oleh pihak BEM KM, tapi hanya melulu menindaklanjuti isu2 kampus seperti masalah infrastruktur kampus dan masalah kesejahteraan mahasiswa. Sedangkan untuk kegiatan mengkaji isu2 penting terkait kebijakan pemerintah atau isu politik nasional tidak menjadi central focus lagi, apalagi untuk menggerakkan massa turun kejalan. Meskipun ada kajian yang mengangkat isu tersebut, jumlah massa terlampau sedikit dibandingkan dengan kondisi pra reformasi.
Dilihat dari sumber pendanaan, kegiatan lembaga kemahasiswaan bersumber dari dana masyarakat dan DIPA (dana pemerintah) sehingga banyak tuntutan yang diberikan oleh institusi kepada lembaga seperti alur pencairan dana yang rumit disertai dengan SOP administrasi keuangan yang menyulitkan. Hal ini membuat lembaga kemahasiswaan harus melaporkan secara jelas kegiatan yang sudah dilakukan kepada institusi. Hubungan kemitraan antara institusi dan kelembagaan tidak berjalan dengan seharusnya, hal ini dikarenakan institusi lebih sering memberikan arahan dan menjadi sesuatu yang “dituakan”. Terbatasnya dana kegiatan yang didapat oleh lembaga kemahasiswaan, membuat institusi memberikan arahan kegiatan yang harus dilakukan seperti adanya Rencana Strategi IPB (RENSTRA IPB). Sudah semakin jelaslah bagaimana kondisi lembaga kemahasiswaan sekarang ini.
PERGERAKAN MAHASISWA PASCA REFORMASI
Pada tahun 2000 pasca reformasi (1998), pergerakan mahasiswa mengalami ironi. Pasalnya, pasca adanya Perjanjian Internasional WTO (World Trade Organisation) menyebabkan terjadinya liberalisasi pendidikan. Hal ini dapat dilihat ketika ditunjuknya 7 PTN menjadi PT BHMN, yaitu UI, ITB, UGM, IPB, UPI, USU, dan UNAIR sebagai perguruan tinggi percontohan. Ke- 7 Perguruan Tinggi tersebut memiliki wewenang untuk mengatur kegiatan internal intitusinya. Sebagaimana diamanatkan dalam PP 61/Th.1999 tentang penetapan Perguruan Tinggi (PT) sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bahwa Majelis Wali Amanat (MWA) bersama Senat Akademik (SA) dan Pimpinan Institut merupakan organ governance yang akan membawa PT menjadi universitas yang efektif, efisien, dan berkualitas yang pada gilirannya akan menjadi kekuatan moral menuju masyarakat madani Indonesia.
Tidak lama dari itu bulan Juni 2006 disahkanlah RUU BHP oleh DPR RI. Hal ini memungkinkan akan adanya otonomisasi, pengamanan aset, transparansi dan akuntabilitas. Namun RUU BHP ini ditolak oleh MK konstitusi sehingga tidak ada lagi status PT BHMN, yang ada hanyalah status BHPMN (Badan Hukum Pendidikan Milik Negara) untuk PTN dan status PT BHPMM (Badan Hukum Pendidikan Milik Masyarakat) untuk PTS. Sebenarnya perbedaan mendasar antara PT BHMN dan PT BHPMN terletak pada cara mendapatkan status tersebut. Status PT BHMN diberikan oleh Depdiknas pada PTN yang dinilai mampu menjalankan otonomi kampus baik dari segi pendanaan, SDM, juga organisasi. Sedangkan status PT BHPMN sebelum diajukan ke Mendiknas harus mendapatkan pengesahan dari notaris. Namun pada prinsipnya kedua status ini sama.
Dari sinilah otonomisasi mulai dilakukan, pengaturan tentang akademik, SDM, dan keuangan diatur oleh institusi/kampus itu sendiri. Untuk mendapatkan masukan sistem akademik, pengaturan SDM, dan donasi keuangan, institusi bekerja sama dengan berbagai pihak sebagai pendukung. Inilah awal mula Liberalisasi pendidikan, yaitu pendidikan bebas dimasuki oleh badan2 atau pihak swasta maupun asing untuk mendukung terlaksananya sistem pendidikan perguruan tinggi.
Hal ini berimbas pada kebijakan2 institusi yang pada akhirnya membekukan gerakan mahasiswa. Sehingga membuat kondisi kampus yang merupakan tempat dimana intelektual bersarang, sudah tidak lagi kondusif untuk melakukan pergerakan. Mahasiswa terlalu banyak diberi beban akademik dalam bentuk paket SKS yang harus dilampaui mahasiswa untuk mencapai kelulusan dan dituntut untuk menjadi mahasiswa yang berprestasi. Tidak ayal lagi jika banyak kita temui para mahasiswa lebih tertarik untuk belajar (individualis) dan peningkatan softskill- untuk mempersiapkan diri ke dunia kerja pasca lulus (materialis) serta jika ada yang aktif di organisasi, itu hanya bertujuan untuk meraih prestice belaka (opportunis). Kekritisan mahasiswa diberangus dengan berbagai kebijakan seperti Surat Keputusan (SK) DIKTI Nomor 26/DIKTI/KeP/2002 tentang Pelarangan Organisasi Ekstra Kampus atau Partai Politik dalam Kehidupan Kampus, dan adanya RENSTRA yang lain. Sehingga kampus bukan lagi pencetak para politisi tapi sebagai industry tenaga kerja yang menghasilkan mahasiswa siap kerja dengan mutu prestasi yang banyak.
Kegiatan2 yang dilakukan oleh beberapa kelompok atau lembaga kemahasiswaan tidak terlepas dari rencana strategi pembangunan yang digelontorkan pemerintah atau institusi. Misalnya saja, kegiatan entrepreneurship, berbagai kegiatan sosial, dan peningkatan akademik lebih marak dilakukan. Kegiatan lembaga secara jelas dibedakan antara Badan Eksekutif, Unit Kegiatan Mahasiswa, dan Himpunan Keprofesian. Lembaga2 tersebut dituntut untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya sehingga tidak overlapping antar lembaga. Hal ini lah yang membuat para aktivis terkotak-kotak dalam ranah kerjanya masing2. Mereka tidak mau dan tidak mampu untuk mengkaji isu nasional terkait kebijakan pemerintah, hanya karena hal tersebut merupakan ranah kerja Badan Eksekutif.
Dari sinilah mereka berfikir bahwa bentuk kepedulian mereka pada bangsa adalah dengan menjalankan segudang aktivitas yang menjadi ranahnya masing2, seperti kegiatan keprofesian, entrepreneurship, dan kegiatan sosial lainnya sebagai solusi praktis. Mereka sudah tidak lagi melihat aksi turun kejalan dan penolakan terhadap kebijakan pemerintah sebagai solusi untuk membuat perubahan. Sebaliknya, mereka apatis terhadap isu yang berbau politik dan pemerintahan. Bukti konkritnya adalah, pada kepengurusan BEM KM periode 2010-2011 banyak opini disebarkan terkait memperingati 7 tahun pemerintahan SBY, ajakan untuk aksi turun kejalan pun sudah diserukan, namun tidak banyak mahasiswa yang tertarik untuk ikut, sehingga massa yang dikerahkan pun sedikit. Diskusi2pun yang diadakan untuk membahas isu tentang kebijakan pemerintah seringkali sepi, melainkan hanya segelintir orang.
Dari sini kita melihat bahwa pengaruh kebijakan pemerintah atau institusi yang tidak terlepas dari campur tangan pihak luar/swasta/asing membuat mahasiswa cenderung pragmatis dan menanggalkan gelar besarnya sebagai Agent Of Change. Padahal, masalah demi masalah mendera kehidupan rakyat, diantaranya Kemiskinan, pengangguran, kebodohan, masalah gizi buruk, masih saja menimpa Indonesia tanpa ada hentinya. Hal ini bisa dikatakan bahwa mahasiswa yang identik dengan Agent Of Change ini dijajah secara intelektual dan kebanyakan para mahasiswa lengah sehingga membuat perjuangan pergerakan mahasiswa luntur. Mereka hanya sibuk dengan kegiatan2 yang menurut mereka adalah solusi praktis, tapi nyatanya, sudah bertahun2 usaha yang mereka lakukan tetap saja tidak memberi perubahan pada kondisi rakyat di Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pergerakan mahasiswa sekarang ini sudah tidak jelas lagi arahnya. Lantas pola pergerakan seperti apa yang seharusnya dilakukan oleh mahasiswa untuk merubah kondisi yang buruk ini ke arah yang lebih baik???
*Mahasiswi AGH 46
Komentar
Posting Komentar